Sabtu, 21 Juni 2014

Perspektif Keadilan Tambang Panas Bumi



Perspektif Keadilan Tambang Panas Bumi

Munculnya gerakan penolakan Ciremai dari pengrusakan oleh eksploitasi dan penjualan energi panas bumi (geothermal) di Jawa Barat patut menjadi diskursus kritis dan disikapi semua pihak secara cermat dan bijak. Dibalik aksi reaktif penolakan masyarakat, patut kita periksa alasan-alasan mendasar mengapa gerakan penolakan muncul sebelum menilai negatif atas penolakan yang muncul.
Kasus rencana eksploitasi Gunung Ciremai hanyalah salah satu rencana pemerintah yang akan dijalankan berdasarkan kerangka kebijakan pembangunan dan politik energi negara ini. Kita pun perlu menyikapi rencana-rencana serupa lainnya seperti di Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Tampomas, Gunung Gede Pangrango. Bahkan, berangkat dari pengalaman, secara ekologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, patut mengkaji secara mendalam dampak-dampak negatif dan positif terhadap praktik eksploitasi panas bumi yang telah dijalankan selama kurang lebih 30 tahun di beberapa lokasi (eksisting) tambang panas bumi di Jawa Barat.
Ditengah-tengah gagasan dan pendapat para ahli yang menyatakan panas bumi merupakan energi terbarukan dan ramah lingkungan hidup, membiasakan debat kontruktif, dialog konsultatif tentang panas bumi, kebijakan dan dampaknya dari berbagai dimensi secara mendalam sangat penting dilakukan.
Membangun diskursus kritis sangat penting, agar masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan memiliki pengetahuan dan pembelajaran yang mendewasakan. Masyarakat memiliki informasi yang memadai.Pemerintah dan pengusaha semakin hati-hati dan professional dalam melakukan eksploitasi panas bumi di Jawa Barat, aspiratif dan akomodatif terhadap usulan rakyat dan nihildari tindakan manipulasi, kekerasan dan intimidasi.

Lumbung Energi
            Tatar Parahyangan Jawa Barat memang memiliki kekayaan sumber-sumber alam yang luar biasa. Jika kita cermati, negeri seribu sungai, mata air dan situ ini telah menjadi lumbung beragam energi yang menggerakan kehidupan. Keanekaragaman pangan, air dan hutan serta panas bumi melimpah ruah di Jawa Barat meskipun ancaman degradasi ekologi terus mengintai dan mengancam.
Terletak di jalur cincin gunung api dunia, Jawa Barat kaya akan sumber energi panas bumi yang luar biasa dan kekayaan itu tersimpan di jalur gunung-gunung berapi sakral yang rimbun dengan hutan-hutan alami yang berfungsi konservasi, generator alami dan reservoir air dan penyedia udara sehat.
Potensi panas bumi Jawa Barat tersebar dihamparan koridor ekologi. Berkah panas bumi termasuk mineral didalam perut bumi, tersimpan di pegunungan-pegunungan sakral yang memiliki nilai sejarah dan kebudayaan masa lalu yang elok seperti Gunung Halimun, Salak, Gede Pangrango, Patuha, Wayang Windu, Papandayan, Karaha Bodas, Tangkuban Perahu, Burangrang, Galunggung, Tampomas, Ciremai, Cisolok, Kromong dll. Potensi panas bumi Jawa Barat tersebar di 38 lokasi dengan kapasitas sekitar  6000 Megawatt, mampu menyediakan 30% sumber energi panas bumi di Indonesia.
           
Perspektif Keadilan
Gagasan eksploitasi energi panas bumi sebagai energi terbarukan di masa depan telah dilegalisasi oleh Undang-Undang No 27 Tahun 2003 (sedang direvisi), undang penataan ruang, ketenagalistrikan, pertambangan mineral dan batubara, kehutanan dan lingkungan hidup dan aturan-aturan turunannya. Sebelum Undang-Undang Panas Bumi muncul, Keputusan Presiden No 22 tahun 1981 telah melegalisasi tambang panas bumi di Jawa Barat di tujuh lokasi.
Meskipun kerangka legal sudah ada, mengkaji kembali praktik tambang panas bumi dari berbagai dimensi adalah sebuah keharusan. Selalu ada gap antara teori dengan praktik di lapangan. Mengkaji urai tata kelola energi panas bumi dari perspektif politik keadilan menjadi satu pendekatan yang bisa digunakan. Secara mendalam, kemudian, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?. Dalam perspektif keadilan dan hak, politik panas bumi bisa diperiksa dari aspek keadilan ekologi, informasi publik, energi, ekonomi, sosial dan budaya setempat.
Dari perspektif keadilan ekologi, dari pengalaman, praktik tambang panas bumi sudah dipastikan akan mengubah bentang alam satu kawasan baik hutan ataupun kebun. Apapun bentuk dan metode teknologi yang digunakan, pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana hingga pengeboran tentu akan mengubah bentang alam dimana lokasi panas bumi ditetapkan. Meskipun, instrumen AMDAL menjadi kendali kerusakan alam namun kerusakan ekosistem, perubahan rona lingkungan, sosial dan budaya  serta wilayah di lokasi pasti terjadi.
Dari pengalaman Sibayak di Sumatra selama proses eksploitasi terjadi pengupasan bukit dan gunung, pembangunan kolam penampungan air hasil injeksi yang memakan lahan luas. Di Gunung Dieng Jawa Tengah, kebocoran pipa gas panas bumi telah mengalirkan gas racun asam sulfida, metana dan mineral lainnya sudah terbukti mencemari sawah-sawah penduduk dan melukai tubuh para petani. Dari Wayang Windu Pangalengan, proses eksploitasi panas bumi menimbulkan getaran-getaran dan gempa-gempa kecil yang merisaukan penduduk setempat. Di Cagar Alam Papandayan, pembuatan sarana dan saluran sumur-sumur telah merusak ekosistem flora dan fauna dan mengupas punggung  bukit dengan hutan alaminya.
Ronald DiPippo, 2005 dalam bukunya yang berjudul  Geothermal Power Plant: Principles, Applications, and Case Studies menjelaskan air yang diinjeksikan ke dalam saluran pengeboran akan mengandung berbagai mineral berbahaya jika terakumulasi dalam tubuh makhluk hidup. Mineral itu diantaranya Arsenic (As), Lithium (Li), Boron (B), Magnesium (Mg), Calcium (Ca), Potassium (Po), Chloride (Cl), Silicon (Si), Fluoride (F), dan Sodium (Na).
Secara kebencanaan terhadap dampak tambang panas bumi di Jawa Barat pun penting disiapkan. Sebagian besar, wilayah penambangan panas bumi di Jawa Barat dilakukan di kawasan-kawasan yang rentan bencana karena memiliki kontur tanah alluvial dan struktur geologi tanah yang cepat bergerak jika getaran timbul. Selain itu, fenomena kekeringan di wilayah sekitar kawasan tambang panas bumi penting juga diperiksa karena injeksi membutuhkan volume air yang cukup besar dan butuh sumber air sebagai penyedianya.
 Dalam perspektif keterbukaan informasi, dari pemeriksaan yang dilakukan, sebagian masyarakat yang berada di wilayah kerja pertambangan panas bumi belum mendapatkan secara memadai keseluruhan informasi kebijakan panas bumi. Banyak masyarakat tidak mengetahui dokumen rencana tata ruang dan wilayah, teknologi, perijinan, dampak positif dan negatif tambang panas bumi yang akan diterima masyarakat. Selama ini, pemerintah pun belum memberikan informasi yang lengkap atas keseluruhan rencana dan dampak eksploitasi panas bumi. Padahal, pihak yang terkena dampak adalah pihak yang harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan tambang panas bumi termasuk memberikan persetujuan dan penolakannya.
Dalam perspektif keadilan energi, patut kita periksa apakah pemanfaatan energi panas bumi memberikan rasa keadilan rakyat untuk mendapatkan energi(listrik) yang layak. Sebagai catatan, kurang lebih 20% rumah tangga di Jawa Barat belum mendapatkan akses energi listrik yang memadai bahkan rata-rata konsumsi energi listrik rumah tangga masih jauh dari rata-rata rumah tangga di negara Malaysia dan Singapura. Pertanyaannya, kemana energi panas bumi ini digunakan? Untuk siapa?. Sangat jelas, kebijakan investisasi besar-besaran maka segelintir pihak swasta dan pemilik industri besar menjadi penikmat utama pasokan energi listrik kita.
Dalam perspektif keadilan ekonomi, jika pembangunan energi panas bumi digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Jawa Barat namun kita masih melihat taraf hidup masyarakat di sekitar kawasan tambang panas bumi berada di bawah garis kemiskinan. Tak sedikit dari mereka juga masih memiliki pendidikan rendah dan kualitas kesehatan dan infrastruktur yang memadai. Berdasarkan data yang tersedia, sekitar 12 juta rakyat Jawa Barat pun masih berada di garis kemiskinan. Meskipun ada kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan, pada praktiknya belum sepenuhnya dijalankan dan menjawab masalah keadilan ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat sekitar.
 Dalam Perspektif keadilan sosial dan budaya, sesungguhnya kebijakan dan modernisasi teknologi panas bumi yang merambah hutan-hutan larangan, titipan dan baladahan sudah menegasikan pranata sosial dan budaya arif masyarakat lokal. Bahkan, penambangan panas bumi telah menghancurkan tatanan sosial dan budaya masyarakat yang dulu begitu arif merawat hutan-hutan alami yang ada sebagai sumber kehidupan untuk bertahan hidup. Akibatnya, masyarakatpun memiiliki nilai baru yang memicu untuk merambah hutan-hutan di sekitarnya karena alasan kehidupan ekonomi keseharian.
            Pendapat yang dikemukan di atas hanyalah evaluasi dan refleksi penulis melihat realitas yang terjadi. Tentunya, pemeriksaan lebih mendalam dan tajam atas praktik tambang panas bumi, keuntungan dan kerugian perlu diperiksa dari aspek kebijakan politik ekonomi yang memakmurkan dan praktiknya di lapangan.
Ke depan, pemerintah dan pemerintah daerah perlu membangun arah dan kebijakan pengelolaan energi panas bumi lebih menjamin keadilan dan kemakmuran yang sebenar-benarnya. Sudah menjadi kewajiban, pemerintah memberikan ruang dialog/konsultasi dan informasi yang lebih terbuka agar kualitas pengambilan keputusan publik lebih baik dan rakyat dapat memberikan keputusan menolak atau menerima atas dasar pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya secara utuh.

Penulis. Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat.
No Hp.082116759688.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar