Perspektif Keadilan Tambang Panas
Bumi
Munculnya
gerakan penolakan Ciremai dari pengrusakan oleh eksploitasi dan penjualan energi
panas bumi (geothermal) di Jawa Barat patut menjadi diskursus kritis dan
disikapi semua pihak secara cermat dan bijak. Dibalik aksi reaktif penolakan masyarakat,
patut kita periksa alasan-alasan mendasar mengapa gerakan penolakan muncul
sebelum menilai negatif atas penolakan yang muncul.
Kasus rencana eksploitasi
Gunung Ciremai hanyalah salah satu rencana pemerintah yang akan dijalankan
berdasarkan kerangka kebijakan pembangunan dan politik energi negara ini. Kita
pun perlu menyikapi rencana-rencana serupa lainnya seperti di Gunung Tangkuban
Perahu, Gunung Tampomas, Gunung Gede Pangrango. Bahkan, berangkat dari
pengalaman, secara ekologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, patut mengkaji
secara mendalam dampak-dampak negatif dan positif terhadap praktik eksploitasi panas
bumi yang telah dijalankan selama kurang lebih 30 tahun di beberapa lokasi (eksisting)
tambang panas bumi di Jawa Barat.
Ditengah-tengah
gagasan dan pendapat para ahli yang menyatakan panas bumi merupakan energi terbarukan
dan ramah lingkungan hidup, membiasakan debat kontruktif, dialog konsultatif tentang
panas bumi, kebijakan dan dampaknya dari berbagai dimensi secara mendalam
sangat penting dilakukan.
Membangun
diskursus kritis sangat penting, agar masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan
memiliki pengetahuan dan pembelajaran yang mendewasakan. Masyarakat memiliki
informasi yang memadai.Pemerintah dan pengusaha semakin hati-hati dan professional
dalam melakukan eksploitasi panas bumi di Jawa Barat, aspiratif dan akomodatif
terhadap usulan rakyat dan nihildari tindakan manipulasi, kekerasan dan
intimidasi.
Lumbung
Energi
Tatar Parahyangan
Jawa Barat memang memiliki kekayaan sumber-sumber alam yang luar biasa. Jika
kita cermati, negeri seribu sungai, mata air dan situ ini telah menjadi lumbung
beragam energi yang menggerakan kehidupan. Keanekaragaman pangan, air dan hutan
serta panas bumi melimpah ruah di Jawa Barat meskipun ancaman degradasi ekologi
terus mengintai dan mengancam.
Terletak di
jalur cincin gunung api dunia, Jawa Barat kaya akan sumber energi panas bumi
yang luar biasa dan kekayaan itu tersimpan di jalur gunung-gunung berapi sakral
yang rimbun dengan hutan-hutan alami yang berfungsi konservasi, generator alami
dan reservoir air dan penyedia udara sehat.
Potensi panas
bumi Jawa Barat tersebar dihamparan koridor ekologi. Berkah panas bumi termasuk
mineral didalam perut bumi, tersimpan di pegunungan-pegunungan sakral yang
memiliki nilai sejarah dan kebudayaan masa lalu yang elok seperti Gunung
Halimun, Salak, Gede Pangrango, Patuha, Wayang Windu, Papandayan, Karaha Bodas,
Tangkuban Perahu, Burangrang, Galunggung, Tampomas, Ciremai, Cisolok, Kromong
dll. Potensi panas bumi Jawa Barat tersebar di 38 lokasi dengan kapasitas
sekitar 6000 Megawatt, mampu menyediakan
30% sumber energi panas bumi di Indonesia.
Perspektif
Keadilan
Gagasan eksploitasi
energi panas bumi sebagai energi terbarukan di masa depan telah dilegalisasi
oleh Undang-Undang No 27 Tahun 2003 (sedang direvisi), undang penataan ruang,
ketenagalistrikan, pertambangan mineral dan batubara, kehutanan dan lingkungan
hidup dan aturan-aturan turunannya. Sebelum Undang-Undang Panas Bumi muncul, Keputusan
Presiden No 22 tahun 1981 telah melegalisasi tambang panas bumi di Jawa Barat
di tujuh lokasi.
Meskipun
kerangka legal sudah ada, mengkaji kembali praktik tambang panas bumi dari
berbagai dimensi adalah sebuah keharusan. Selalu ada gap antara teori dengan
praktik di lapangan. Mengkaji urai tata kelola energi panas bumi dari perspektif
politik keadilan menjadi satu pendekatan yang bisa digunakan. Secara mendalam,
kemudian, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan?. Dalam perspektif
keadilan dan hak, politik panas bumi bisa diperiksa dari aspek keadilan
ekologi, informasi publik, energi, ekonomi, sosial dan budaya setempat.
Dari
perspektif keadilan ekologi, dari pengalaman, praktik tambang panas bumi sudah
dipastikan akan mengubah bentang alam satu kawasan baik hutan ataupun kebun. Apapun
bentuk dan metode teknologi yang digunakan, pembangunan infrastruktur sarana
dan prasarana hingga pengeboran tentu akan mengubah bentang alam dimana lokasi
panas bumi ditetapkan. Meskipun, instrumen AMDAL menjadi kendali kerusakan alam
namun kerusakan ekosistem, perubahan rona lingkungan, sosial dan budaya serta wilayah di lokasi pasti terjadi.
Dari
pengalaman Sibayak di Sumatra selama proses eksploitasi terjadi pengupasan
bukit dan gunung, pembangunan kolam penampungan air hasil injeksi yang memakan
lahan luas. Di Gunung Dieng Jawa Tengah, kebocoran pipa gas panas bumi telah
mengalirkan gas racun asam sulfida, metana dan mineral lainnya sudah terbukti
mencemari sawah-sawah penduduk dan melukai tubuh para petani. Dari Wayang Windu
Pangalengan, proses eksploitasi panas bumi menimbulkan getaran-getaran dan
gempa-gempa kecil yang merisaukan penduduk setempat. Di Cagar Alam Papandayan,
pembuatan sarana dan saluran sumur-sumur telah merusak ekosistem flora dan
fauna dan mengupas punggung bukit dengan
hutan alaminya.
Ronald DiPippo, 2005 dalam bukunya yang berjudul Geothermal Power Plant: Principles, Applications, and Case
Studies menjelaskan air yang diinjeksikan ke dalam saluran pengeboran akan mengandung berbagai
mineral berbahaya jika terakumulasi dalam tubuh makhluk hidup. Mineral itu
diantaranya Arsenic (As), Lithium (Li), Boron (B), Magnesium (Mg), Calcium
(Ca), Potassium (Po), Chloride (Cl), Silicon (Si), Fluoride (F), dan Sodium (Na).
Secara kebencanaan terhadap dampak tambang panas bumi
di Jawa Barat pun penting disiapkan. Sebagian besar, wilayah penambangan panas
bumi di Jawa Barat dilakukan di kawasan-kawasan yang rentan bencana karena
memiliki kontur tanah alluvial dan struktur geologi tanah yang cepat bergerak
jika getaran timbul. Selain itu, fenomena kekeringan di wilayah sekitar kawasan
tambang panas bumi penting juga diperiksa karena injeksi membutuhkan volume air
yang cukup besar dan butuh sumber air sebagai penyedianya.
Dalam perspektif
keterbukaan informasi, dari pemeriksaan yang dilakukan, sebagian masyarakat yang
berada di wilayah kerja pertambangan panas bumi belum mendapatkan secara
memadai keseluruhan informasi kebijakan panas bumi. Banyak masyarakat tidak
mengetahui dokumen rencana tata ruang dan wilayah, teknologi, perijinan, dampak
positif dan negatif tambang panas bumi yang akan diterima masyarakat. Selama
ini, pemerintah pun belum memberikan informasi yang lengkap atas keseluruhan
rencana dan dampak eksploitasi panas bumi. Padahal, pihak yang terkena dampak adalah
pihak yang harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan tambang panas bumi
termasuk memberikan persetujuan dan penolakannya.
Dalam perspektif
keadilan energi, patut kita periksa apakah pemanfaatan energi panas bumi
memberikan rasa keadilan rakyat untuk mendapatkan energi(listrik) yang layak.
Sebagai catatan, kurang lebih 20% rumah tangga di Jawa Barat belum mendapatkan
akses energi listrik yang memadai bahkan rata-rata konsumsi energi listrik
rumah tangga masih jauh dari rata-rata rumah tangga di negara Malaysia dan
Singapura. Pertanyaannya, kemana energi panas bumi ini digunakan? Untuk siapa?.
Sangat jelas, kebijakan investisasi besar-besaran maka segelintir pihak swasta dan
pemilik industri besar menjadi penikmat utama pasokan energi listrik kita.
Dalam
perspektif keadilan ekonomi, jika pembangunan energi panas bumi digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Jawa Barat namun kita masih melihat taraf
hidup masyarakat di sekitar kawasan tambang panas bumi berada di bawah garis
kemiskinan. Tak sedikit dari mereka juga masih memiliki pendidikan rendah dan
kualitas kesehatan dan infrastruktur yang memadai. Berdasarkan data yang
tersedia, sekitar 12 juta rakyat Jawa Barat pun masih berada di garis
kemiskinan. Meskipun ada kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan, pada
praktiknya belum sepenuhnya dijalankan dan menjawab masalah keadilan ekologi,
ekonomi dan sosial masyarakat sekitar.
Dalam Perspektif keadilan sosial dan budaya,
sesungguhnya kebijakan dan modernisasi teknologi panas bumi yang merambah
hutan-hutan larangan, titipan dan baladahan sudah menegasikan pranata sosial
dan budaya arif masyarakat lokal. Bahkan, penambangan panas bumi telah
menghancurkan tatanan sosial dan budaya masyarakat yang dulu begitu arif
merawat hutan-hutan alami yang ada sebagai sumber kehidupan untuk bertahan
hidup. Akibatnya, masyarakatpun memiiliki nilai baru yang memicu untuk merambah
hutan-hutan di sekitarnya karena alasan kehidupan ekonomi keseharian.
Pendapat
yang dikemukan di atas hanyalah evaluasi dan refleksi penulis melihat realitas
yang terjadi. Tentunya, pemeriksaan lebih mendalam dan tajam atas praktik tambang
panas bumi, keuntungan dan kerugian perlu diperiksa dari aspek kebijakan politik
ekonomi yang memakmurkan dan praktiknya di lapangan.
Ke depan,
pemerintah dan pemerintah daerah perlu membangun arah dan kebijakan pengelolaan
energi panas bumi lebih menjamin keadilan dan kemakmuran yang sebenar-benarnya.
Sudah menjadi kewajiban, pemerintah memberikan ruang dialog/konsultasi dan
informasi yang lebih terbuka agar kualitas pengambilan keputusan publik lebih
baik dan rakyat dapat memberikan keputusan menolak atau menerima atas dasar
pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya secara utuh.
Penulis.
Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat.
No
Hp.082116759688.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar