Minggu, 28 Agustus 2011

Menyelamatkan Ekosistem DAS Citarum


Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan ekosistem yang memberikan peranan penting dalam menopang dan menjamin keberlangsungan kehidupan, lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat Jawa Barat khususnya dan masyarakat di Pulau Jawa umumnya. Kita tidak bisa memungkiri, DAS Citarum adalah sumber kehidupan dan berkah bagi masyarakat sekaligus titipan dari Sang Pencipta untuk dikelola dan dirawat dengan arif dan bijak.
           
            Citarum telah memberikan manfaat ekologi, ekonomi, hidrologi bagi keselamatan manusia. Ketersediaan pasokan air, pangan dan energi dan keselamatan masyarakat di Jawa Barat dan Pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh tatanan ekosistem dan daya dukung lingkungan DAS Citarum.
           
            Berdasarkan data Puslitbang Sumber Daya Air, sungai Citarum memiliki luas sekitar 7.400 km2. Secara fisik ekologis DAS Citarum terbagi menjadi tiga bagian, yaitu : (a). Bagian hulu memiliki luas 1.771 km2, dengan batas antara Majalaya sampai dengan inlet Waduk Saguling; (b).Bagian tengah dengan luas 4.242 km2, yaitu dari inlet Waduk Saguling sampai dengan outlet Waduk Jatiluhur; (c). Bagian hilir yaitu dari outlet Waduk Jatiluhur sampai dengan muara ke Laut Jawa dengan luas 1.387 km2. Secara hidrologis, DAS Citarum memiliki curah hujan rata-rata 2.300 mm/tahun, atau debit alirannya mencapai 5,7 milyar m3/tahun. Debit sungai Citarum sangat berfluktuasi yaitu antara musim hujan dan musim kemarau sangat jauh berbeda.
           
            Keberadaan 3 (tiga) waduk besar yaitu: Waduk Saguling dibangun tahun 1986 dengan kapasitas 982 juta m3, Waduk Cirata dibangun tahun 1988 dengan kapasitas 2.165 juta m3, dan Waduk Jatiluhur dibangun tahun 1963 dengan kapasitas 3.000 m3.  Citarum menyediakan air minum dan air industri bagi DKI Jakarta, Karawang, Bekasi, Purwakarta, Subang dan Bandung Raya. Energi listrik yang dihasilkan berkat air Citarum sebesar 5.000 gigawatt (lima milyar kilowatt) per tahun atau setara dengan penghematan BBM sebesar 16 juta ton per tahun, air baku industri (110 m3/s), irigasi pertanian di Jawa Barat seluas 242.000 ha, perikanan (40.000 unit jala apung dan sekitar 12,3 m3/s untuk kolam biasa dan air deras), pengendali banjir dan sarana pariwisata.
           
            Di masa lalu Citarum adalah nadi kehidupan masyarakat dan berkah bagi kehidupan. Masyarakat dulu begitu akrab dan bersahabt dengan Citarum. Mereka telah memperlakukan Citarum dengan arif dan bijak. Begitu dalam tali silaturahmi mereka dengan alam Citarum. Saat ini, ekosistem DAS Citarum semakin rusak dan memprihatinkan. Sekitar 70% kondisi DAS Citarum rusak. Citarum saat ini menyimpan petaka, bencana dan ancaman bagi keselamatan rakyat Jawa Barat dan Jakarta. WALHI Jawa Barat menilai, secara kualitatif dan kuantitatif kerusakan DAS Citarum disebabkan oleh laju pencemaran limbah industri dan domestik yang tidak terkendali, sedimentasi yang terus bertambah, lahan kritis dan konversi lahan yang terus berlangsung serta rendahnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan pengelolaan DAS Citarum.  
           
            Berdasarkan catatan dan laporan Indonesia Power (2008), lahan yang kritis di DAS Citarum kini sudah mencapai sekitar 20 persen dari total luas DAS Citarum sekitar 718.000 hektar, kerusakan sudah mencapai sekitar 144.000 hektar. Setiap tahunnya, sekitar 95 ton tanah per hektar yang erosi ke DAS Citarum, padahal sebenarnya tingkat erosi yang ditolerir hanya sekitar 15 ton per hektar per tahun. Beberapa jenis ikan endemik telah punah dan langka dari aliran Sungai Citarum. Sementara beberapa jenis flora endemik di DAS Citarum juga sudah mulai langka. DAS Citarum di ambang malapetaka. Di sisi lain, upaya pemulihan dan penyelamatan lingkungan DAS Citarum lebih lamban dibandingkan dengan laju kerusakan yang terjadi.

Penyelamatan Ekosistem DAS Citarum
           
            Melihat fakta kerusakan ekosistem DAS Citarum yang luar biasa akut. Maka, praksis  penyelamatan harus menjadi agenda bersama semua pihak atau pemangku kepentingan tanpa kecuali. WALHI Jawa Barat menilai bahwa prinsip dasar penyelamatan harus dimulai dengan membangun visi bersama bahwa Citarum sebagai “Titipan Alam” dan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang harus dijaga dan dirawat. Citarum adalah sumber kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Mulasara Citarum berarti menyelamatkan kehidupan dan generasi yang akan datang.
            Agenda penyelamatan ekosistem DAS Citarum seharusnya menjadi konsensus bersama dengan beragam strategi dan pendekatan. Kompleksitas permasalahan DAS Citarum tidak bisa dijalankan dengan strategi dan pendekatan parsial dan tunggal. Strategi dan pendekatan yang dibangun harus memposisikan masyarakat sebagai subjek sekaligus pelaku utama penyelamatan.
            Selama ini, pengurus negara cenderung menempatkan masyarakat DAS Citarum sebagai objek. Pengurus negara lebih memihak pemodal dibanding rakyatnya. Sehingga tak heran jika beragam kebijakan yang dikeluarkan kurang mendapatkan legitimasi rakyat. Kasus penolakan masyarakat terhadap proyek pembangunan kanal timur dan barat yang didukung oleh utang Asian Development Bank (ADB) menunjukkan rendahnya legitimasi rakyat dan bagaimana negara lebih memilih dan berpihak kepada pemodal dalam menyusun kebijakan.
            Dalam kerangka penyelamatan ekosistem DAS Citarum, ada beberapa hal yang patut menjadi dasar pertimbangan, diantaranya :
            Pertama, adaptasi nilai-nilai spiritual, kearifan sosial dan budaya dalam catatan historis DAS Citarum yang sudah lama tumbuh. Hal ini menjadi kekuatan dan modal sosial dalam menjalankan agenda penyelamatan ekosistem DAS Citarum. Kita harus belajar dari rekaman historis agar manusia lebih sadar, dekat dan bijak dalam mengelola alam DAS Citarum.
            Kedua, pentingnya bangunan konsolidasi gagasan, kesepahaman dan konsensus kolektif sebagai landasan dan pijakan bersama semua pihak atau pelaku pemangku kepentingan. Keragaman pelaku pemangku kepentingan di DAS Citarum harus difasilitasi dalam ruang konsolidasi gagasan dalam posisi setara dan seimbang. Dengan ruang diskursus , beragam pengalaman, pengetahuan bisa melahirkan gagasan konstruktif bersama dengan muara yang sama pada keberhasilan proses penyelamatan.
            Ketiga, tumbuhnya beragam inisiatif kelompok masyarakat atau komunitas di DAS Citarum berbasis keswadayaan dalam beragam bentuk aktivitas dan skala patut diapresiasi bersama. Beragam inisiatif menjadi sebuah bentuk partisipasi nyata masyarakat dalam agenda penyelamatan DAS Citarum. Menjadi sebuah keharusan, negara mendukung secara penuh beragam inisiatif tersebut.
            Keempat, agenda penyelamatan DAS Citarum bukanlah sekedar memperbaiki fisik DAS Citarum belaka dengan pendekatan rekayasa teknologi berbasis anggaran yang mahal. Agenda penyelamatan DAS Citarum adalah sebuah proses sosial. Agenda penyelamatan harus menjadi gerakan sosial dan lingkungan untuk mengubah tatanan masyarakat DAS Citarum yang bertumpu pada kekuatan swadaya, kemandirian, perubahan perilaku masyarakat dan rasa memiliki masyarakat terhadap DAS Citarum.
            Kelima, pengurus publik (pemerintah) dituntut melakukan konsolidasi, bukan sekedar koordinasi. Kemudian, memeriksa dan mengevaluasi secara kritis dan mendalam beragam intervensi kebijakan dan implementasi program yang telah dikeluarkan dan memeriksa beragam inisiatif masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang. Kerja-kerja evaluasi harus melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Tanpa evaluasi kritis, kelemahan, kekurangan, capaian dan dampak perubahan dari kebijakan yang dikeluarkan tidak akan bisa tergali.
            Agenda penyelamatan DAS Citarum adalah tindakan untuk mempertegas hubungan silaturahmi manusia dengan alam. Menyelamatkan ekosistem DAS Citarum berarti menyelamatkan kehidupan manusia. Semoga.

Menyelamatkan Ekologi Tatar Pasundan

Pada tahun 1953 sejumlah  ilmuwan mengukur rasio uranium dalam sampel batuan kuno atau vulkanik dengan menggunakan metode Tes Radiometrik. Metode ini digunakan untuk menghitung umur batuan sesuai dengan prinsip setengah-umur, yaitu dengan melihat adanya sejumlah elemen radioaktif di batuan vulkanik di bumi.

Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa  usia bumi diperkirakan telah mencapai usia 4,5-4,6 miliar tahun. Perkiraan inilah yang hingga kini tetap bertahan. Penemuan ini menunjukan bahwa usia bumi sangat tua, termasuk di dalamnya adalah bumi  Tatar Pasundan.

Mengacu pada data yang ada, hamparan Bumi Tatar Pasundan  mempunyai luas sekitar 4,4 juta Ha, berisi sekitar empat puluh tiga juta manusia yang tersebar di tujuh belas kabupaten dan sembilan kota serta enam ratus dua puluh lima serta tujuh ribu desa. Jika dibandingkan dengan provinsi lain, Tatar Pasundan adalah propinsi dengan hunian manusia terbanyak di Bumi Nusantara ini.

Masalah Mendesak

Mengamati kondisi ekologi di belahan selatan dan utara Tatar Pasundan, setidaknya ada empat masalah yang mendesak yang perlu diselesaikan. Pertama, tekanan dan ledakan penduduk Jawa Barat yang terus meningkat. Ledakan penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan rakyat atas sumber penghidupan (pangan, papan, sandang), akses pekerjaan dan kebutuhan dasar.

Kedua, krisis sumber-sumber penghidupan, alam, pangan, energi  dan konversi lahan secara besar-besaran. Konversi lahan sawah menjadi lahan industri sekitar 55,7 persen dengan laju pertahun 0,21 persen. Pada tahun 2008, kemiskinan terbesar berada di pedesaan mencapai sekitar 11,42 juta jiwa, banyaknya angka kemiskinan ini disebabkan oleh rendahnya akses petani terhadap lahan yang diimbangi dengan meningkatnya jumlah buruh tani dan pengangguran di perdesaan.

Ketiga, meluasnya lahan kritis serta perusakan hutan. Dari catatan WALHI,  lahan kritis di Jawa Barat berada di kisaran 400.000-600.000 Ha. Lahan hutan kritis tersebar di 15 kabupaten di Jawa Barat. Kerusakan lahan hutan terbesar berada di kabupaten Garut dan kerusakan hutan terkecil di kota Bogor. Lahan kritis ini disebabkan kegiatan pembalakan komersial secara legal maupun ilegal oleh pemodal besar, alih fungsi lahan hutan menjadi pertambangan, perkebunan, serta berbagai proyek pembangunan infrastruktur sektor pariwisata.

Dari catatan Walhi Jawa Barat sejak tahun 2006 hingga sekarang, sekitar ratusan Kerjasama Operasi (KSO) dan Kerjasama Pinjam Pakai Kawasan Hutan di kawasan hutan yang dikelola PT Perhutani di Jawa Barat yang telah menyebabkan kerusakan ekologis akibat alih fungsi kawasan hutan menjadi lahan pertambangan, pembangunan infrastruktur, pariwisata tidak ramah lingkungan dan secara administratif tidak semua kerjasama dilengkapi dokumen Amdal, upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL).

Keempat, menurunnya daya dukung lingkungan hidup. Menurunya daya dukung lingkungan disebabkan laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, kepadatan penduduk, meningkatnya jumlah pengangguran, dan semakin tingginya tingkat kemiskinan dalam satu dekade terakhir ini telah menyebabkan perubahan-perubahan ekologis di Bumi Tatar Pasundan. Perubahan tersebut seperti, peningkatan kebutuhan lahan, peningkatan kebutuhan pangan, konsumsi energi yang cenderung meningkat, dan konsumsi air yang semakin tinggi.

Hanya sekedar catatan saja,  data  hasil penelitian menunjukan bahwa aliran air mantap di pulau Jawa sekitar 47.268 juta m3/tahun sementara keperluan air sekitar 59.838 juta m3/tahun, hal ini  berarti bahwa diperkirakan terjadi defisit ketersediaan air sekitar 12.570 juta m3/thn

Ancaman keempat adalah berupa bencana alam dan ekologis. Mengacu pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jawa Barat memiliki indeks kerawanan bencana alam dan ekologis yang sangat tinggi atau berada dalam zona merah.

Dalam konteks Jawa Barat, ancaman bencana ekologis tersebut semakin parah tatkala melihat pada anggaran provinsi untuk permasalahan bencana alam. Dari hasil penyelusuran yang dilakukan WALHI Jawa Barat, jumlah alokasi anggaran untuk penanganan bencana alam tidak lebih dari 4 milyar atau sekitar 1,3 persen dari alokasi biaya langsung dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi Jawa Barat. Sementara anggaran untuk penyelesaian masalah lingkungan hidup hanya 0,25% dari total APBD Jawa Barat.

Agenda Mendesak

Bacaan di atas merupakan sebuah refleksi dalam upaya membangun kesadaran serta konsensus bersama bahwa kerja-kerja kolektif penyelamatan dan perawatan  Tatar Pasundan.   Oleh karena itu, berdasar atas kajian mendalam, WALHI Jawa Barat memandang bahwa kerja-kerja kolektif penyelamatan bumi Tatar Pasundan merupakan agenda mendesak yang harus segera  dijalankan oleh seluruh pihak sebagai subjek tanpa kecuali.

Secara lebih spesifik, WALHI Jawa Barat menawarkan beberapa aksi kolektif yang bisa dilakukan secara bersama seluruh elemen yang peduli dengan nasib ekologi tatar Pasundan : pertama, pemerintah Jawa Barat dan Kabupaten/Kota harus segera mengkaji ulang  kebijakan dan strategi pembangunan yang dijalankan selama ini.

Dalam konteks kajian tersebut, keberlanjutan kehidupan, keamanan dan keselamatan masyarakat harus menjadi prinsip utama  dibanding keberlanjutan pembangunan yang sudah direncanakan sebelumnya.

Kedua, pemerintah harus tegas dalam upaya penegakan hukum tata ruang dan lingkungan dengan tetap berpegang pada pilar keadilan sosial dan memastikan pembangunan yang dijalankan benar-benar selaras dan adaptif dengan situasi ekologis tanpa harus menghilangkan akses masyarakat sumber-sumber kehidupan seperti tanah, hutan dan air.

Penegakan hukum ini dijalankan karena kerusakan lingkungan disebabkan oleh beragam pelanggaran yang dilakukan seperti kasus pencemaran, pelanggaran-pelanggaran perijinan pembangunan, pembalakan lahan hutan oleh pengusaha besar.

Ketiga, menggali dan mengembangkan  kearifan lokal Tatar Pasundan yang mendukung pada upaya penyelamatan dan perawatan bumi dan lingkungan hidup. Kearifan lokal perlu dikembangkan karena nilai-nilai kearifan tradisi, budaya lokal (Sunda) sangat relevan dengan situasi kerusakan ekologis yang pada saat ini menjamur. Nilai-nilai kearifan akan menjadi spirit sosial yang saat ini mulai memudar. Nilai kearifan lokal akan mendukung agenda penyelamatan lingkungan pada ranah perubahan paradigma, alam pikir dan akan menjadi tindakan nyata dalam  lingkungan hidup di Tatar Pasundan ini.

Keempat, menumbuhkan kesadaran bersama bahwa penyelamatan lingkungan adalah agenda kemanusiaan bersama untuk penyelamatan manusia Tatar Pasundan ke depan. Membangun kesadaran bersama ini bisa dilakukan dalam bentuk edukasi dan kampanye lingkungan hidup sehat dan ramah lingkungan di semua jenjang sekolah, ruang pengajian dan majelis taklim dll. Selain edukasi, kerja kolektif juga bisa dilakukan dengan membangun partisipasi masyarakat dalam memantau, mengawasi beragam aktivitas pembangunan yang dapat merusak tatanan ekologis di tempat dan wilayah sekitarnya.

Hari bumi atau Earth Day yang jatuh pada tanggal 22 April adalah salah satu momentum penting bagi kesadaran manusia di dunia akan pentingnya kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup di bumi.

Semoga peringatan hari bumi tahun ini tidak sekedar menjadi ritual yang terus dijalankan secara formalitas saja, akan tetapi kemudian bisa diikuti dengan tindakan nyata dari semua pihak. Semoga saja


Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat Periode 2011-2015.