Selasa, 06 Agustus 2013

MP3EI dan Ekologi Jawa Barat Ke Depan



MP3EI dan Ekologi Jawa Barat Ke Depan
Oleh Dadan Ramdan

Merujuk laporan status lingkungan hidup Indonesia (SLHI)  tahun 2012, Provinsi Jawa Barat berada pada peringkat 27 dari 30 Propinsi yang diteliti. Indeks lingkungan hidup (IKLH) Jawa Barat hanya bernilai 51,34 dimana indeks pencemaran udara (IPU) bernilai 97,51, indeks tutupan hutan (ITH) hanya bernilai 38,72 dan indeks pencemaran air (IPA) hanya bernilai 17,80. Dari data ini, secara kuantitatif, SLHI Jawa Barat tidak mengalami perbaikan bahkan cenderung menurun, berada pada rangking empat terbawah yang sebelumnya pada peringkat lima terbawah.

Tentunya perhitungan matematik di atas akan berbeda dan tidak sebaik fakta kerusakan ekologis yang terjadi. Bahkan, secara sosial dan ekonomi, dampak kebijakan pembangunan belum menjamin kemakmuran rakyat, belum bisa menurunkan angka kemiskinan di Jawa Barat yang mencapai enam belas persen. Bahkan, implementasi kebijakan menyisakan konflik sosial dan ruang hidup. Nilai kerusakan ekologis pun tidak sebanding dan sepadan dengan  kontribusi pendapatan yang diterima daerah.

Seiring dengan beragam kebijakan pembangunan yang dirumuskan oleh pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota, dipastikan krisis ruang hidup ekologis di bumi Jawa Barat ke depan akan semakin parah, terus mengalami degradasi yang ditandai dengan menurunnya keseimbangan ekosistem, daya dukung dan tampung lingkungan hidup. Belum lagi, konflik sosial yang akan muncul yang harus dihadapi rakyat. 

Selain kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di level Propinsi dan 27 Kabupaten/kota di Jawa Barat, keluarnya Perpres No 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2015 merupakan salahsatu dari sekian kebijakan pemerintah pusat melalui konsepsi pembangunan wilayah-wilayah koridor ekonomi namun nihil pembangunan koridor ekologi di dalamnya.

Kelemahan Kebijakan
Di Jawa Barat, Gubernur telah mengeluarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 500.05/Kep.1265-Admrek/2011 tanggal 3 Oktober 2011 tentang Komite Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) Jawa Barat. Dalam struktur KP3EI Jawa Barat ternyata didominasi oleh unsur pemerintahan dan perusahaan, hanya satu perguruan tinggi dan tidak ada unsur organisasi rakyat atau masyarakat sipil. Celakanya, rakyat Jawa Barat kebanyakan belum mengetahui apa isi dan bagaimana dokumen kebijakan MP3EI ini diimpelementasikan di Jawa Barat.

Dokumen MP3EI menempatkan Jawa Barat sebagai bagian dari Koridor Ekonomi Jawa yang berperan sebagai pendukung industri dan jasa nasional. Kegiatan utama ekonomi akan diarahkan pada pembangunan sektor industri makanan minuman, tekstil, peralatan transportasi, perkapalan, alutsista, telematika, besi baja, tembaga, industri semen dan pariwisata. Lokus investasi di Jawa Barat akan dilakukan di wilayah Bogor, Depok, Bekasi, Subang dan Karawang, Cekungan Bandung dan wilayah selatan sebagai salahsatu penyuplai bahan baku.

Indikasi total investasi koridor ekonomi Jawa diperkirakan mencapai Rp 1500 trilyun dengan investasi sektor infrastruktur sebagai pendukung proyek investasi sebesar Rp 256 trilyun. Sementara total investasi sektor riil di luar infrastruktur mencapai Rp 1.290 trilyun dengan komposisi investor sebagai berikut swasta Rp 419 trilyun, BUMN Rp 295 trilyun, pemerintah Rp 95 trilyun dan campuran sebesar Rp 481 trilyun. Di Jawa Barat sendiri, total investasi mencapai sebesar Rp 381, 77 trilyun.

Jika kita periksa secara kritis, implementasi mega proyek MP3EI di Jawa Barat akan berdampak pada nasib rakyat dan ruang hidup Jawa Barat baik secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Sehingga, kita patut mengkaji, menakar dan menimbang untung dan rugi dari kebijakan ini.

Pertama, secara ekologis, mega proyek ini akan membawa dampak pada meluasnya krisis ruang hidup ekologis. Dipastikan daya dukung dan daya tampung lingkungan pun akan semakin menurun. Kenyataannya, kebijakan MP3EI ini tidak diimbangi oleh konsepsi kebijakan perlindungan koridor ekologis beserta perhitungan biaya kerusakan ekologis dan emisi yang dihasilkan.

Indikator kerusakan ekologis dapat ditunjukkan dengan meningkatnya kebutuhan energi, air dan alih fungsi lahan produktif, produksi limbah dan sampah barang-barang kemasan dan ekspolitasi mineral dan batubara seperti pasir besi, mangan, emas, baja dll. Ke depan, emisi karbon, pencemaran udara, air, tanah akan semakin meningkat seiring dengan semakin menyusutnya lahan hutan dan lahan pertanian produktif. Indek kualitas lingkungan hidup Jawa Barat pun akan semakin menurun. Muaranya pada malapetaka bencana ekologis yang semakin meluas.

Di sisi lain, belum bisa ada kepastian kewajiban perusahaan/investor untuk mematuhi segala macam aturan ruang dan lingkungan hidup beserta prosedur perijinan dapat dijalankan dengan transparan dan akuntabel. Kita sulit memastikan perusahaan /investor menjalankan mandat dan amanah UU No 32 Tahun 2009 tentang PPLH dan menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan akibat kerusakan sosial dan lingkungan hidup yang dihasilkan.

Jelas, kebijakan MP3EI yang dibarengi dengan kebijakan RTRW di tiap kabupaten/kota tidak memihak pada kepentingan lingkungan hidup dan budaya agraris akan semakin menurunkan daya dukung dan tampung lingkungan hidup dan pemenuhan target 45% kawasan lindung Jawa Barat menjadi tidak realistis dan bahkan hanya mimpi belaka.

Kedua, secara ekonomi, investasi yang dijalankan akan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi investor swasta termasuk investor asing. Investasi swasta, asing dan campuran mencapai 90% dari keseluruhan total investasi. Bagaimana begitu dominannya investasi swasta asing dan campuran dalam mengendalikan ekonomi Jawa Barat, begitu besar keuntungan bisnis swasta ke depan dan berapa besar yang kemudian bisa memberikan dampak bagi penerimaan dan pendapatan negara.

Selain itu, investasi yang dilakukan lebih mendukung pada industri hulu hilir dalam skala besar dan membutuhkan keterampilan dan teknologi tinggi. Sehingga, yang diuntungkan adalah pengusaha/pemodal besar dan tenaga-tenaga kerja dari luar negeri. Lalu, bagaimana dengan akomodasi dan nasib tenaga kerja lokal yang memiliki kapasitas rendah dalam penguasaan teknologi dan bagaimana nasib industri rakyat dalam skala kecil. Tidak ditemukan kebijakan yang memihak dan menguntungkan industri rakyat, rumah tangga skala mikro dan menengah yang seharusnya dibangun dan diperkuat negara atau pemerintahan.

Bahkan sebaliknya, diprediksi kebijakan ini akan mengancam pada keberlanjutan kehidupan kaum tani dan buruh tani karena lahan sawah, kebun, ladang akan terancam alih fungsi seiring meningkatknya lahan-lahan untuk pendirian pabrik, infrastruktur jalan dan sarana-sarana industri lainnya.

Jadi, secara ekonomi belum tentu membawa dampak kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Jawa Barat kebanyakan, memarjinalisasi ekonomi kerakyatan dan belum tentu memberikan kontribusi pada peningkatan pendapatan dan penerimaan daerah secara signifikan. Bahkan, potensi korupsi implementasi proyek ini terbuka lebar untuk terjadi.

Ketiga, secara sosial, implementasi kebijakan ini akan membutuhkan lahan dan tanah yang cukup luas, penyediaan air yang banyak yang saat ini menjadi penghidupan rakyat terutama kaum tani, buruh tani, nelayan. Dipastikan pembebasan-pembesan lahan untuk infrastruktur dan fasiltas industri akan berbuah pada konflik dan sengketa di masyarakat. Artinya konflik sosial dan sumber daya alam pun akan semakin merebak. Ancaman kriminalisasi pun terbuka lebar untuk terjadi. Biaya sosial pun semakin tinggi ditanggung rakyat dan pemerintah.

Proyek MP3EI seperti akan berbuah manis, menjanjikan dan menjadi tumpuan peningkatan pendapatan negara dan daerah serta kesejahtaraan rakyat. Namun, dari catatan kritis di atas, mega proyek akan berdampak buruk dan rugi secara ekonomi, sosial dan ekologi bagi rakyat dan ruang hidup Jawa Barat dan wilayah lain di Indonesia. Penulis memandang, MP3EI sebagai master plan percepatan, perluasan dan perusakan ekologi Indonesia. Sayangnya, pemerintahan pusat dan daerah sudah melegalisasi dan meligitimasi mega proyek ini, meskipun penolakan muncul dari Walhi dan organisasi-organisasi tani dan nelayan serta organisasi sosial lainnya, pemerintah tak bergeming dan proyek ini tak terbendung terus melaju bahkan sudah berjalan lebih dari satu tahun.

Visi Ke depan
Menurut pandangan penulis, menempatkan Jawa Barat sebagai sebagai pendukung industri dan jasa dalam skala besar tidak tepat dan keliru. Potensi strategis Jawa Barat ada pada kekuatan ekonomi agraris dengan potensi utama/pokok pada pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan darat-laut yang ditopang dengan dukungan alamiah hutan sebagai pemasok air, penyerap emisi karbon dan penyedia udara sehat.  

Menurut pandangan penulis, visi pembangunan Jawa Barat ke depan bukan pada industri dan jasa namun visi membangun tatanan masyarakat agraris-ekologis (agroekologis). Artinya pembangunan agraria yang memperhatikan kaidah ekologi dan konservasi dengan industri rakyat sebagai basis ekonomi utama. Untuk mencapai visi ini, maka kebijakan untuk mempercepat peningkatan kualitas kapasitas sumber daya manusia, perlindungan kaum agraris dan reformasi agraria berarusutama ekologis mutlak harus diprioritaskan.

Penulis. Dadan Ramdan. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat Periode 2011-2015. No Kontak 082116759688.

Ekonomi Hijau dan Modernisasi Ekologi



Ekonomi Hijau dan Modernisasi Ekologi
 
Pembangunan ekonomi dewasa ini telah memposisikan lingkungan sebagai sumber utama untuk meningkatkan basis produksi. Konsumsi energi yang luar biasa borosnya di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa guna menjaga industri tetap “ngebul” mengakibatkan dunia saat ini mengalami krisis energi, terutama krisis energi minyak bumi yang luar biasa. Naiknya harga minyak dunia dalam beberapa tahun terakhir telah memincu krisis lain diberbagai sektor. Fakta nyata yang dihadapi saat ini adalah mengakibatkan meningkatnya suhu bumi dan anomali cuaca. Kondisi ini telah memaksa sebagian rakyat di bumi ini khususnya di negara kaya sumber daya namun miskin secara ekonomi sosial untuk menanggung risiko ini.
 
Di tengah kebutuhan energi fosil yang rakus saat ini, dunia dihadapkan pada satu kenyataan bahwa cadangan minyak dunia yang berbahan fosil dan tidak terbarukan akan terus menyusut untuk duapuluhtahun ke depan. Diperkirakan cadangan minyak bumi yang terkandung di wilayah Timur Tengah dan Kawasan Teluk, yang merupakan wilayah penghasil minyak bumi terbesar dunia saat ini, akan mulai habis dalam waktu 20 tahun mendatang. Itu artinya, bisa dipastikan bahwa negara Industri pimpinan Amerika dan sekutunya akan mencari pengganti energi berbahan fosil dengan bahan bakar alternatif, guna mengantisipasi krisis energi yang dahsyat ini.
Guna mengatasi krisis energi atau krisis bahan bakar minyak bumi tersebut, dewasa ini telah dikembangkan energi berbahan bakar nabati. Penggunaan energi berbahan bakar nabati ini telah menjadi kebijakan energi dari sejumlah negeri Industri utama seperti AS, kawasan Uni Eropa, Jepang, dan Brazil. Kebijakan untuk menggunakan energi berbahan bakar nabati dewasa ini diikuti secara serentak oleh berbagai negeri jajahan, setengah jajahan dan negeri bergantung lainnya, karena kebijakan penggunaan energi nabati tersebut menjadi prasyarat-prasyarat baru bagi bantuan pembangunan (utang, hibah, dan proyek) dari lembaga-lembaga kreditor multilateral seperti Bank Dunia dan ADB (Asian Development Bank/Bank Pembangunan Asia). Catatan menunjukkan bahwa Amerika Serikat adalah konsumen energi nabati terbesar, terutama bioetanol, dengan pasokan bioetanol dari Brazil yang diolah dari komoditas pangan tebu. Sementara Uni Eropa adalah konsumen terbesar biodiesel (bio solar) terbesar dengan pasokan bahan baku komoditas pertanian kelapa sawit dari Indonesia dan Malaysia.
Penggunaan bahan bakar nabati, telah dikampanyekan oleh negeri-negeri industri yang menandatangani Protokol Kyoto, sebagai sumbangan negeri-negeri industri terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca (terutama emisi karbon). Karena menurut Protokol Kyoto, hanya negeri-negeri annex-1 yang mayoritas terletak di belahan bumi bagian Utara, yang diberikan target spesifik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Jadi, klaim dari negeri-negeri belahan bumi Utara ini adalah mereka telah mengurangi emisi gas rumah kaca, yang diwajibkan oleh Protokol Kyoto dengan target spesifik pada masing-masing negeri ini, melalui penggantian penggunaan bahan bakar minyak bumi dengan penggunaan bahan bakar nabati (agrofuel).    
Bahan baku untuk produksi energi nabati, umumnya diproduksi di tanah-tanah di belahan bumi bagian Selatan, kecuali untuk kedelai (produsen terbesarnya Amerika Serikat dan Brazil) dan gandum (tanaman sub-tropis dan belahan bumi Utara). Di dalam Protokol Kyoto, negeri-negeri di belahan bumi bagian Selatan, yang umumnya merupakan negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung, tidak dibebani kewajiban target spesifik untuk menurunkan emisi karbonnya.
Oleh karenanya, meskipun terjadi emisi karbon yang luar biasa sebagai akibat perluasan perkebunan biodiesel (terutama kelapa sawit) dan perkebunan bioetanol (terutama tebu), melalui pembukaan hutan primer, hutan produksi dan hutan konversi yang kemudian mengakibatkan penggundulan dan perusakan hutan (deforestasi) dan pembakaran hutan, di wilayah bumi bagian Selatan, hal ini menurut Protokol Kyoto, tidak merupakan persoalan pokok, karena negeri-negeri ini sesungguhnya tidak dibebani kewajiban menurunkan emisi karbonnya. Dengan demikian, negeri-negeri industri tetap dapat menjaga pertumbuhan industrinya melalui tingkat konsumsi energi yang sama, dengan beralih menggunakan bahan bakar nabati yang bahan bakunya diproduksi di tanah-tanah perkebunan dan pertanian di Negara berkembang dan miskin.
Green Economy, Modernisasi Ekologis
Solusi global sejak tigapuluh tahun terakhir seakan tidak menjawab persoalan krisis lingkungan global hingga saat ini. Upaya moderinisasi ekologi tersebut dilakukan di wilayah struktural maupun non struktural. Clean Development Mecanism atau biasa dikenal dengan CDM, dengan berbagai variannya, seperti Payment Enviroment Services (PES). Perubahan iklim global yang terus meningkat memaksa seluruh bangsa untuk menurunkan emisi rumah kaca melalui mekanisme mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Skema pembangunan ekonomi Indonesia juga berusaha merubah paradigm pembangunan yang ekstraktif, ekslpoitatif dan berjangka pendek. Kebijakan nasional pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan semboyan “pro growth, pro job, pro poor”.  Bisa dipahami sebagai upaya perbaikan kondisi lingkungan , “Green Economy” menjadi salah satu bagiannya.

Kenyataan ini sangat disadari dimana model pembangunan ekonomi yang dikembangkan telah menggerakkan pembangunan ekonomi yang cenderung ekstraktif dan berjangka pendek. Tanpa menafikan adanya perbaikan kualitas sumber daya dan lingkungan, namun secara umum dapat dikatakan bahwa upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan. Sementara itu, sinyal indikator pertumbuhan ekonomi seperti Produk Domestik Bruto/Produk Domestik Regional Bruto (PDB/PDRB), dan tingkat inflasi tidak diiringi dengan informasi akurat tentang nilai susutnya sumber daya alam (deplesi) dan rusaknya serta tercemarnya lingkungan (degradasi).

Bercermin pada kondisi Indonesia saat ini, maka pendekatan Ekonomi Hijau (Green economy approach) dapat diartikan sebagai suatu model pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang berlebihan. Sejatinya, ekonomi hijau harus menjadi lompatan besar meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani termasuk menggerakkan perekonomian yang rendah karbon (low carbon economy).

Konsep ekonomi hijau meliputi cakupan yang luas dan merupakan paradigma baru dalam pembangunan ekonomi guna menggantikan kebijakan-kebijakan lingkungan yang pada masa lalu kerap difokuskan pada solusi jangka pendek. Pendekatan ekonomi hijau merupakan win-win solution dalam mengakhiri perdebatan para penentu kebijakan yang tidak ada habis-habisnya seputar "pelestarian lingkungan" dan "pertumbuhan ekonomi". Atau dengan kata lain, Ekonomi Hijau adalah model pembangunan ekonomi berbasiskan pengetahuan terhadap ecological economic dan green economic yang bertujuan untuk menjawab saling ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi termasuk perubahan iklim dan pamanasan global.

Di level praksis, tentu pemikiran ekonomi hijau dan modernisasi ekologi terus semakin populer. Kini banyak perusahaan yang berusaha menggunakan teknologi ramah lingkungan walaupun sangat lamban dalam implementasinya. Teknologi asap cair menjadi salah satu solusi minimisasi limbah. Instrumen amdal jadi pengendali dampak lingkungan. Kampanye jalur bebas mobil pada hari-hari tertentu, serta mengatur suhu sedang untuk pendingin ruangan adalah salahsatu upaya kultural dari modernisasi ekologi.

Keadilan ekologis, Jalan Baru Pembangunan
Seperti yang sudah disampaikan di atas, bahwa persoalan lingkungan dan ekonomi saling bertentangan. Hal ini dikarenakan karakteristik pembangunan ekonomi yang sangat rakus, monopolistik, dan berorientasi pada ekstraksi sumberdaya alam. Di dalamnya juga mengandung dominasi politik ekonomi Negara Utara terhadap Negara Selatan seperti Indonesia. Politik ekonomi yang miskin distribusi. Regulasi yang tidak menunjukan ketidakadilan dalam pembangunan global menjadi persoalan dasar dalam upaya perbaikan pembangunan ekonomi yang lebih hijau, bersih dan menguntungkan.

Berbagai gagasan yang menjadi mainstreaming global dan perubahan perilaku ekonomi pembangunan masih didominasi oleh Negara Utara. Sehingga terlihat jelas mengabaikan kepentingan Negara Berkembang (selatan) dan lebih menguntungkan negara-negara maju.

Pendekatan green economy dan modernisasi ekologi ini dapat dikatakan melupakan konflik kepentingan antar aktor, yakni antara industri yang satu dan industri lain, industri dengan masyarakat, negara dengan masyarakat, serta antara negara maju dan berkembang. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara keduanya akan menimbulkan dominasi satu atas lainnya dan berujung pada marginalisasi pihak yang lemah.

Modernisasi ekologi jarang memerhatikan pertanyaan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Jarang dipikirkan bagaimana dampak ekolabeling terhadap perikanan rakyat. Jarang dipikirkan pula dampak kawasan konservasi hutan dan laut terhadap masyarakat sekitarnya. Begitu pula pada level global, dampak perdagangan karbon terhadap dunia ketiga dan lingkungan global. Konflik-konflik kepentingan itu membutuhkan solusi yang adil. Tanpa itu maka semua gagasan yang lahir untuk memperbaiki ekologis global tidak akan pernah selesai. Oleh karena itu, konsep keadilan ekologis perlu segera dikembangkan dan menjadi mainstreaming dalam setiap kebijakan ekonomi pembangunan global.

Menurut Flitner (2009), ada dua macam keadilan ekologis. Pertama, keadilan distributif yang menekankan pentingnya akses masyarakat pada benefit atas pemanfaatan sumber daya alam. Banyaknya konflik nelayan dengan pengelola kawasan konservasi merupakan akibat dari terusiknya keadilan distributif ini. Kedua, keadilan pengakuan yang menekankan pada pentingnya pengakuan terhadap eksistensi keragaman cara masyarakat mengelola alam. Tipe keadilan ini diturunkan dari asumsi bahwa alam adalah hasil konstruksi sosial. Sejarah, pengalaman, dan budaya akan membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam, yang mungkin berbeda dengan pandangan para ahli atau pakar. Masyarakat memiliki cara sendiri bagaimana beradaptasi dan mengelola sumber daya alam yang bisa jadi lebih efektif. Namun, sering kali mereka diabaikan sehingga menjadi tamu di wilayahnya sendiri.

Ketidakadilan ekologis terjadi karena ada monopoli cara pandang terhadap alam, yaitu cara pandang positivistik berbasis sains dianggap paling obyektif, benar dan universal, meski kadang kurang efektif. Ini berimplikasi pada menguatnya pendekatan teknokratik dalam mengelola alam. Padahal, di luar sains, ada sistem pengetahuan lain di masyarakat yang juga akurat melihat fenomena alam. Low dan Gleeson (1998) menyatakan ”sustainable development without environmental justice is an empty formula”.Kontradiksi ini bisa diakhiri dengan mendorong kolaborasi sains dan pengetahuan lokal.Modernisasi ekologi dan keadilan ekologis bukan saling meniadakan. Modernisasi ekologi penting, tetapi lebih penting lagi bila diiringi keadilan ekologis. Keadilan ekologis harus menjadi arus utama pembangunan dan jalan baru menuju  keselamatan dan kemakmuran rakyat dan keberlanjutan ruang hidup ekologis.

Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat Periode 2011-2015. No Kontak 082116759688

Minggu, 24 Februari 2013

Menakar Agenda Ekonomi Hijau Untuk Indonesia yang Lebih Baik



Menakar Agenda Green Economy Untuk Indonesia yang Lebih Baik

Oleh Dadan Ramdan[1]

Pembangunan ekonomi dewasa ini telah memposisikan lingkungan sebagai sumber utama untuk meningkatkan basis produksi. Konsumsi energi yang luar biasa borosnya dari AS guna menjaga industri tetap “ngebul” mengakibatkan dunia saat ini mengalami krisis energi, terutama krisis energi minyak bumi yang luar biasa. Naiknya harga minyak dunia dalam tahun 2008-2009 telah memincu krisis lain diberbagai sektor. Fakta nyata yang dihadapi saat ini adalah mengakibatkan meningkatnya suhu bumi dan anomali cuaca. Kondisi ini telah memaksa sebagian rakyat di bumi ini khususnya di negara kaya sumber daya namun miskin secara ekonomi social untuk menanggung risiko ini.
Di tengah kebutuhan energi fosil yang rakus saat ini, dunia dihadapkan pada satu kenyataan bahwa cadangan minyak dunia yang berbahan fosil dan tidak terbarukan akan terus menyusut untuk duapuluhtahun kedepan. Diperkirakan cadangan minyak bumi yang terkandung di wilayah Timur Tengah dan Kawasan Teluk, yang merupakan wilayah penghasil minyak bumi terbesar dunia saat ini, akan mulai habis dalam waktu 20 tahun mendatang.[2] Itu artinya, bisa dipastikan bahwa negara Industri pimpinan Amerika akan mencari pengganti energi berbahan fosil dengan bahan bakar alternatif, guna mengantisipasi krisis energi yang dahsyat ini.
Guna mengatasi krisis energi atau krisis bahan bakar minyak bumi tersebut, dewasa ini telah dikembangkan energi berbahan bakar nabati. Penggunaan energi berbahan bakar nabati ini telah menjadi kebijakan energi dari sejumlah negeri Industri utama seperti AS, kawasan Uni Eropa, Jepang, dan Brazil[3]. Kebijakan untuk menggunakan energi berbahan bakar nabati dewasa ini diikuti secara serentak oleh berbagai negeri jajahan, setengah jajahan dan negeri bergantung lainnya, karena kebijakan penggunaan energi nabati tersebut menjadi prasyarat-prasyarat baru bagi bantuan pembangunan (utang, hibah, dan proyek) dari lembaga-lembaga kreditor multilateral seperti Bank Dunia dan ADB (Asian Development Bank/Bank Pembangunan Asia). Catatan menunjukkan bahwa Amerika Serikat adalah konsumen energi nabati terbesar, terutama bioetanol, dengan pasokan bioetanol dari Brazil yang diolah dari komoditas pangan tebu. Sementara Uni Eropa adalah konsumen terbesar biodiesel (bio solar) terbesar dengan pasokan bahan baku komoditas pertanian kelapa sawit dari Indonesia dan Malaysia.
Penggunaan bahan bakar nabati, telah dikampanyekan oleh negeri-negeri industri yang menandatangani Protokol Kyoto (berlaku sampai dengan tahun 2012), sebagai sumbangan negeri-negeri industri terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca (terutama emisi karbon). Karena menurut Protokol Kyoto, hanya negeri-negeri annex-1 yang mayoritas terletak di belahan bumi bagian Utara, yang diberikan target spesifik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Jadi, klaim dari negeri-negeri belahan bumi Utara ini adalah mereka telah mengurangi emisi gas rumah kaca, yang diwajibkan oleh Protokol Kyoto dengan target spesifik pada masing-masing negeri ini, melalui penggantian penggunaan bahan bakar minyak bumi dengan penggunaan bahan bakar nabati (agrofuel).[4]     
Bahan baku untuk produksi energi nabati, umumnya diproduksi di tanah-tanah di belahan bumi bagian Selatan, kecuali untuk kedelai (produsen terbesarnya Amerika Serikat dan Brazil) dan gandum (tanaman sub-tropis dan belahan bumi Utara). Di dalam Protokol Kyoto, negeri-negeri di belahan bumi bagian Selatan, yang umumnya merupakan negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung, tidak dibebani kewajiban target spesifik untuk menurunkan emisi karbonnya.

Oleh karenanya, meskipun terjadi emisi karbon yang luar biasa sebagai akibat perluasan perkebunan biodiesel (terutama kelapa sawit) dan perkebunan bioetanol (terutama tebu), melalui pembukaan hutan primer, hutan produksi dan hutan konversi yang kemudian mengakibatkan penggundulan dan perusakan hutan (deforestasi) dan pembakaran hutan, di wilayah bumi bagian Selatan, hal ini menurut Protokol Kyoto, tidak merupakan persoalan pokok, karena negeri-negeri ini sesungguhnya tidak dibebani kewajiban menurunkan emisi karbonnya. Dengan demikian, negeri-negeri industri tetap dapat menjaga pertumbuhan industrinya melalui tingkat konsumsi energi yang sama, dengan beralih menggunakan bahan bakar nabati yang bahan bakunya diproduksi di tanah-tanah perkebunan dan pertanian di Negara berkembang dan miskin.
Green Economy, Modernisasi Ekologis
Solusi global sejak tigapuluh tahun terakhir seakan tidak menjawab persoalan krisis lingkungan global hingga saat ini. Upaya moderinisasi ekologi tersebut dilakukan di wilayah structural maupun non structural. Clean Development Mecanism atau biasa dikenal dengan CDM, dengan berbagai variannya, seperti Payment Enviroment Services (PES). Perubahan iklim global yang terus meningkat memaksa seluruh bangsa untuk menurunkan emisi rumah kaca melalui mekanisme mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Skema pembangunan ekonomi Indonesia juga berusaha merubah paradigm pembangunan yang ekstratif , ekslpoitatif dan berjangka pendek. Kebijakan nasional pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan semboyan “pro growth, pro job, pro poor”.  Bisa dipahami sebagai upaya perbaikan kondisi lingkungan , “Green Economy” menjadi salah satu bagiannya.

Kenyataan ini sangat disadari dimana model pembangunan ekonomi yang dikembangkan telah menggerakkan pembangunan ekonomi yang cenderung ekstraktif dan berjangka pendek. Tanpa menafikan adanya perbaikan kualitas sumber daya dan lingkungan, namun secara umum dapat dikatakan bahwa upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan. Sementara itu, sinyal indikator pertumbuhan ekonomi seperti Produk Domestik Bruto/Produk Domestik Regional Bruto (PDB/PDRB), dan tingkat inflasi tidak diiringi dengan informasi tentang nilai susutnya sumber daya alam (deplesi) dan rusaknya serta tercemarnya lingkungan (degradasi).

Bercermin pada kondisi Indonesia saat ini, maka pendekatan Ekonomi Hijau (Green economy approach) dapat diartikan sebagai suatu model pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang berlebihan. Ekonomi hijau merupakan suatu lompatan besar meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani termasuk menggerakkan perekonomian yang rendah karbon (low carbon economy).

Konsep ekonomi hijau meliputi cakupan yang luas dan merupakan paradigms baru dalam pembangunan ekonomi guns menggantikan kebijakan-kebijakan lingkungan yang pada masa lalu kerap difokuskan pada solusi jangka pendek. Pendekatan ekonomi hijau merupakan win-win solution dalam mengakhiri perdebatan para penentu kebijakan yang tidak ads habis-habisnya seputar "pelestarian lingkungan" dan "pertumbuhan ekonomi". Atau dengan kata lain, Ekonomi Hijau adalah model pembangunan ekonomi berbasiskan pengetahuan terhadap ecological economic dan green economic yang bertujuan untuk menjawab saling ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi termasuk perubahan iklim dan pamanasan global.

Dilevel praksis, tentu pemikiran ekonomi hijau dan modernisasi ekologi terus dsemakin populer. Kini semakin banyak perusahaan yang berusaha menggunakan teknologi ramah lingkungan. Teknologi asap cair menjadi salah satu solusi minimisasi limbah. Instrumen amdal jadi pengendali dampak lingkungan. Kampanye jalur bebas mobil pada hari-hari tertentu, serta mengatur suhu sedang untuk pendingin ruangan adalah upaya kultural dari modernisasi ekologi.


Keadilan ekologis, Jalan baru Pembangunan Ekonomi Indonesia

Seperti yang sudah disampaikan di atas, bahwa persoalan lingkungan dan ekonomi saling bertentangan. Hal ini dikarenakan karakteristik pembangunan ekonomi yang sangat rakus, monopolistik, dan berorientasi pada ekstraksi sumberdaya alam. Didalamnya juga mengandung dominasi politik ekonomi Negara Utara terhadap Negara Selatan seperti Indonesia. Politik ekonomi yang miskin distribusi. Regulasi yang tidak menunjukan ketidakadilan dalam perbangunan global. Adalah sedikit banyaknya persoalan dasar dalam upaya perbaikan pembangunan ekonomi yang lebih hijau, bersih dan menguntungkan.

Berbagai gagasan yang menjadi mainstreaming global dan perubahan prilaku ekonomi pembangunan masih didominasi oleh Negara Utara. Sehingga mudah terlihat jelas mengabaikan kepentingan Negara Berkembang ( Selatan ).

Pendekatan Modernisasi ekologi ini dapat dikatakan melupakan konflik kepentingan antar aktor, yakni antara industri yang satu dan industri lain, industri dengan masyarakat, negara dengan masyarakat, serta antara negara maju dan berkembang. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara keduanya akan menimbulkan dominasi satu atas lainnya dan berujung pada marginalisasi pihak yang lemah.

Modernisasi ekologi jarang memerhatikan pertanyaan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Jarang dipikirkan bagaimana dampak ekolabeling terhadap perikanan rakyat. Jarang dipikirkan pula dampak kawasan konservasi hutan dan laut terhadap masyarakat sekitarnya. Begitu pula pada level global, dampak perdagangan karbon terhadap dunia ketiga dan lingkungan global. Konflik-konflik kepentingan itu membutuhkan solusi yang adil. Tanpa itu maka semua gagasan yang lahir untuk memperbaiki ekologis global tidak akan pernah selesai. Oleh karena itu, konsep keadilan ekologis perlu segera dikembangkan dan menjadi mainstreaming dalam setiap kebijakan ekonomi pembangunan global.

Menurut Flitner (2009), ada dua macam keadilan ekologis. Pertama, keadilan distributif yang menekankan pentingnya akses masyarakat pada benefit atas pemanfaatan sumber daya. Banyaknya konflik nelayan dengan pengelola kawasan konservasi merupakan akibat dari terusiknya keadilan distributif ini.

Kedua, keadilan pengakuan yang menekankan pada pentingnya pengakuan terhadap eksistensi keragaman cara masyarakat mengelola alam. Tipe keadilan ini diturunkan dari asumsi bahwa alam adalah hasil konstruksi sosial. Sejarah, pengalaman, dan budaya akan membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam, yang mungkin berbeda dengan pandangan para ahli.

Masyarakat memiliki cara sendiri bagaimana beradaptasi dan mengelola sumber daya alam yang bisa jadi lebih efektif. Namun, sering kali mereka diabaikan sehingga menjadi tamu di wilayahnya sendiri.

Ketidakadilan ekologis terjadi karena ada monopoli cara pandang terhadap alam, yaitu cara pandang positivistik berbasis sains dianggap paling obyektif, benar dan universal, meski kadang kurang efektif. Ini berimplikasi pada menguatnya pendekatan teknokratik dalam mengelola alam. Padahal, di luar sains, ada sistem pengetahuan lain di masyarakat yang juga akurat melihat fenomena alam. Low dan Gleeson (1998), ”sustainable development without environmental justice is an empty formula”.Kontradiksi ini bisa diakhiri dengan mendorong kolaborasi sains dan pengetahuan lokal.Modernisasi ekologi dan keadilan ekologis bukan saling meniadakan. Modernisasi ekologi penting, tetapi lebih penting lagi bila diiringi keadilan ekologis.


[1] Adalah Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat Periode 2011-2015, Peneliti Perkumpulan INISIATIF
[2] Lihat laporan GRAIN tentang perampasan tanah dan krisis pangan, “Seized! The 2008 landgrab for food and financial security,” Oktober 2008. http://www.grain.org/go/landgrab 
[3] Di AS sendiri, kebijakan untuk mengunakan energi berbahan bakar nabati (agrofuel) telah mulai diperkenalkan sejak tahun 1973, saat terjadinya krisis minyak, saat negeri-negeri Arab menghentikan pasokan minyaknya ke AS.
[4] Lihat artikel Almuth Ernsting, “Agrofuels in Asia: Fuelling poverty, conflict, deforestation and climate change,” dalam buletin Seedling, Juli 2007, hal. 25- 33.