Rabu, 03 Oktober 2012

Spiritualitas dan Etika Ekologis



Spiritualitas dan Etika Ekologis
Oleh Dadan Ramdan Harja*

Kerusakan dan kehancuran ekosistem alam yang semakin kronis saat ini, tak lepas dari keberadaan, peran dan posisi manusia sebagai subjek perubahan, pelaku utama kehidupan di bumi. Di luar mekanisme dan etika alamiah alam semesta yang bekerja berdasarkan hukum alam yang dinamis dan memengaruhi kehidupan ekosistem bumi. Peran artifisial manusia sangat signifikan dalam mempengaruhi keberlanjutan dan keseimbangan alam serta siklus kehidupan mahluk hidup lainnya yang satu sama lain saling mempengaruhi.
Pola sikap, pikir dan tindak manusia di bumi telah memasifkan kerusakan ekosistem. Peran manusia yang diartikulasikan dan diwujudkan dalam kebijakan dan keputusan politik, perilaku, tradisi masyarakat telah menyuburkan terjadinya patologi ekologi. Fenomena pencemaran tanah, air dan udara yang semakin meningkat, kuantitas dan kualitas hutan yang semakin berkurang, kekeringan dan kelangkaan air, banjir dan longsor, produksi sampah yang terus meningkat, kepunahan fauna dan flora serta fenomena krisis dan bencana ekologis lainnya disebabkan oleh aktivitas manusia.

Manusia, etika dan spritualitas
            Manusia telah menjadi predator dan monster bagi semua mahluk di bumi. Padahal, semua mahluk biotik dan abiotik memiliki hak yang sama untuk hidup. Manusia menjadi satu-satunya mahluk yang melahirkan patologi dan bencana ekologis di bumi. Situasi ini menjadi pertanda, manusia mengalami krisis spiritualitas dan etika ekologis. Pada diri manusia, spiritualitas dan etika ekologis semakin menjaug dan mengering di aras kehidupan semua mahluk hidup di bumi.
            Spritualitas ekologi bisa diartikan sebagai semangat, nilai dasar gerak dan tindakan manusia untuk hidup selaras alam yang didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan yang telah menciptakan alam semesta dan menitipkannya kepada manusia. Etika ekologis dapat kita definisikan sebagai tatanan pola pikir, sikap dan tindak sebagai bagian dari tradisi yang memiliki kaitan erat dengan perilaku manusia yang mengatur dimensi hak dan kewajiban manusia sebagai mahluk hidup. Selain itu, etika ekologi juga mengajarkan kepada manusia, bahwa hak alam dan mahluk hidup lainnya juga penting untuk dilindungi.
Spritualitas dan etika ekologis memastikan bahwa manusia tidak diijinkan untuk semena-mena, serakah, dan rakus mengelola sumber kehidupan di bumi sesuai dengan hasrat dan nafsu kemanusiaannya. Spiritualitas dan etika ekologis memberikan pedoman bahwa alam ini bukan hanya untuk generasi sekarang belaka, namun jauh lebih penting bagaimana generasi ke depan pun perlu diselamatkan.
Dalam kontesk spirualitas dan etika ekologis, Peter Kropotkin menegaskan bahwa Alam adalah guru etika pertama manusia. Kemudian, Fritjof Capra mengatakan ekologi dan spiritualitas secara fundamental terbubungkan, karena sejatinya kesadaran ekologis yang paling mendalam adalah kesadaran spiritual itu sendiri. Sementara, Mircea Eliade menegaskan bahwa perilaku religiusitas manusia memberikan kontribusi dalam mengelola dan menjaga kesucian dunia.
           
 Sumber Pembelajaran
            Sebenarnya, praksis spiritualitas dan etika ekologis di bumi nusantara bisa kita pelajari dari beragam sumber pengetahuan yang tersebar luas. Keanekaragaman sumber spritualiatas dan etika ekologis bisa kita pelajari dari kearifan sistem adat, ajaran agama dan nilai tradisi baru komunitas.
            Kehidupan adat istiadat masa lalu masyarakat dan bangsa di nusantara menjadi sumber spiritual dan etika yang masih relevan untuk dijadikan solusi penyembuhan penyakit ekologis. Praksis tradisi kehidupan masyarakat adat bisa kita temukan dalam tradisi adat Sunda, Bali, Dayak, dan suku-suka lain yang tersebar luas. Intinya, bagaimana adat istiadat mengatur hubungan manusia, alam dan Sang Penciptanya secara selaras. Kehidupan masyarakat Baduy di Lebak, bisa dijadikan salah satu pengalaman praktik kehidupan yang memadukan spiritualitas dan etika ekologis dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sistem agroekosistem masyarakat Baduy yang telah dilakukan turun-temurun adalah contohnya.
            Selain dari adat istiadat yang masih relevan, ajaran semua agama pun memberikan pembelajaran dan pengalaman bagaimana cara manusia berinteraksi dengan alam dan sang penciptanya. Pada hakikatnya, ajaran Islam, Tao, Hindu, Budha, Kristen dan agama lainnya merupakan sumber referensi yang bisa dijadikan pijakan dan prinsip dasar dalam kehidupan di Bumi.Bahkan Agama Buddha, Tao, Konfusianisme, dan Shinto, menganggap alam sebagai sakral.
Muhamad Ali menyatakan dalam ajaran Islam, ada prinsip "jangan merusak" (la darara wa la dirara), prinsip taskhir (wewenang menggunakan alam guna mencapai tujuan penciptaan) dan prinsip istikhlaf (wakil Tuhan di bumi yang bertanggung jawab, responsible trusteeship). Dalam Ajaran Islam, banyak di temukan ayat-ayat dalam Kitab Suci Al Qur;an yang bisa dijadikan pedoman spritualitas dan etika ekologis kita. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bagaimana manusia menjadi bagian dari lingkungan hidup itu sendiri, diantaranya menjaga dan memelihara makhluk hidup, Menghidupkan lahan yang mati, melakukan penanaman pohon dan penghijauan.
Sementara, ajaran Buddha mengatakan pepohonan dan bumi memiliki semangat Buddha, yaitu kehidupan. Tao mengajarkan hubungan harmonis manusia dan alam. Konfusius menekankan langit dan bumi dinamakan orang tua agung yang memberi kehidupan dan kebutuhan hidup. Ajaran Kristian sebagaimana yang diungkapkan oleh Eduardo Agosta menyatakan dari sudut pandang trinitarian, realitas dunia ini sesungguhnya adalah Allah, manusia dan ciptaan lain (baik yang terlihat maupun yang tak terlihat), yang disatukan oleh Kekuatan Ilahi, yang merupakan sumber yang menghidupkan dan sekaligus yang menjaga keberlangsungan realitas dunia.
         
Menyuburkan Etika Ekologis
            Menjawab situasi patologi ekologis yang semakin kronis maka spiritualitas dan etika ekologi semakin relevan sebagai sebuah basis solusi untuk menyelamatkan ekosistem bumi. Saat ini, spiritualitas dan etika ekologi manusia yang semakin mengering dalam kehidupan. Spiritualitas dan etika ekologis bisa menjadi sebuah jalan penyembuhan krisis dan penyakit ekologis ke depan. Manusia perlu dan harus menyuburkan kesadaran, spiritualitas dan etika ekologi ini dalam berbagai dimensi kehidupan, Sistem ketatanegaraan dan kebijakan ekonomi politik, praktik hidup pribadi dan komunitas serta masyarakat secara meluas.
        Untuk menyuburkan spritualitas dan etika ekologis ini, maka keberadaan dan peran institusi sosial seperti lembaga pendidikan, keagamaan dan adat menjadi sangat penting. Peran institusi sosial dalam menyuburkan spiritualitas dan etika maka secara langsung akan mempengaruhi kebijakan atau keputusan-keputusan baik secara individual dan publik yang lebih memihak pada keberlanjutan ekologi. Dengan demikian, kita masih memiliki harapan, masa depan bumi sebagai sumber etika dapat terselamatkan.

*Penulis adalah Direktur WALHI Jawa Barat 2011-2015.No Kontak 082116759688.