Kamis, 29 Desember 2011

Jejak Krisis Ekologi Tatar Pasundan 2011

Rekaman krisis ekologi di Jawa Barat sepanjang tahun 2011 semakin memprihatinkan dan menambah catatan sejarah buruknya perlindungan dan penegakan keadilan lingkungan hidup. Krisis ekologi dipastikan akan berdampak pada berkurangnya daya dukung dan tampung lingkungan hidup di bumi Jawa Barat. Krisis ekologi yang terjadi merupakan kelanjutan dari krisis pengrusakan alam dan lingkungan hidup sebelumnya yang belum terselesaikan, ditambah kasus-kasus baru yang mengemuka di 26 kabupaten/kota di Jawa Barat.

Fenomena Krisis Ekologi
    Fenomena krisis ekologis dapat kita periksa dari beragam kasus lingkungan hidup yang setiap hari muncul baik yang terpublikasikan maupun yang tidak terpublikasikan di media massa. Dari catatan WALHI Jawa Barat, setiap media dalam sehari mempublikasikan minimalnya sekitar lima kasus lingkungan hidup. Jika diakumulasikan maka sepanjang tahun 2011 diperkirakan sekitar 10.800-an kasus lingkungan hidup terjadi di kawasan bioregional Tatar Pasundan. Fenomena krisis ekologi mengemuka dibeberapa sektor penting diantaranya kehutanan, pertambangan, persampahan/limbah, penataan ruang, sumber daya air dan wilayah pesisir dan laut baik utara maupun selatan Jawa Barat.
    Di sektor kehutanan, krisis ekologis dapat di tunjukan dengan semakin kritisnya ekologi hutan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kualititatif, alih fungsi kawasan hutan baik di kawasan konservasi, lindung dan produksi semakin marak terjadi dan mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati, mengurangi pasokan ketersediaan air, longsor dan banjir di musim penghujan. Berdasarkan laporan dari Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia, Indek Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dari aspek tutupan hutan di Jawa Barat bernilai 38,69, berada dalam indeks kualitas yang sangat rendah.
    Secara kuantitatif, berdasarkan catatan WALHI Jawa Barat, praktik alih fungsi kawasan hutan hingga tahun 2011 terakumulasi sekitar 95.000 hektar atau 10% dari total kawasan hutan negara di Jawa Barat. Artinya jika rata-rata tegakan dalam 1 Ha adalah 1000 pohon maka sekitar 95 juta pohon lenyap dari hutan. Alih fungsi sebagian besar terjadi di kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani melalui skema kerjasama operasional (KSO) dan pinjam pakai kawasan. Kegiatan pertambangan mineral dan panas bumi baik terbuka maupun tertutup, wanawisata, pertanian dan pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang utama kerusakan hutan. Sementara, berdasarkan data dari BPLHD Jawa Barat tahun 2010 saja sekitar 515.000 Ha kondisi hutan masih berada dalam kondisi kritis dan belum terpulihkan.
    Di samping itu, pendapatan negara dari sektor kehutanan di Jawa Barat belum secara terbuka menjadi informasi publik. Kegiatan alih fungsi kawasan hutan menjadi pertambangan, wanawisata, dan jenis usaha lainya menyimpan potensi korupsi dan kerugian negara yang cukup besar. Berdasarkan kajian WALHI Jawa Barat, dari sekitar 18 perusahaan tambang di kabupaten Bogor diperkirakan pendapatan sektor kehutanan yang dihasilkan sekitar Rp 78 milyar selama 5 tahun, artinya dari satu perusahaan potensi pendapatan negara bisa mencapai rata-rata 4 Milyar dalam setahun.
    Berdasarkan data yang dimiliki WALHI Jabar, tercatat sekitar 790 KSO dan pinjam pakai kawasan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di 15 Kabupaten/Kota di Jawa Barat dalam rentang 2007-2012. Artinya potensi pendapatan dari KSO dan pinjam pakai kawasan jika diakumulasi rata-rata bisa mencapai Rp 3.160 milyar atau Rp 3,16 Trilyun. Bisa dipastikan betapa besarnya pendapatan dari sejumlah KSO dan pinjam pakai kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani serta kerjasama-kerjasama yang dilakukan BBKSDA dan Dinas Kehutanan di  Jawa Barat.
    Krisis ekologi di sektor pertambangan hingga akhir 2011, dapat ditunjukan dengan semakin meluasnya praktik pertambangan galian pasir mencapai sekitar 25.000 ha, pertambangan mineral galena, emas, mangan, karst dll mencapai sekitar 156.000 ha, pertambangan panas bumi di wilayah hutan konservasi, lindung dan produksi yang mencapai sekitar 1200 ha serta peningkatan kegiatan penambangan pasir besi yang terindikasi ilegal di selatan Jawa barat yang mencapai 3000 ha.
    Di sektor tata ruang, alih fungsi ruang dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya semakin meluas seiring dengan pembangunan infrastruktur, pemukiman, perdagangan, hotel, mall, jalan, bandara, waduk, PLTN dan sarana fisik lainnya. Perluasan perkebunan sawit juga semakin meningkat dan dipastikan mengurangi luasan lahan konservasi /resapan di Jawa Barat. Pembangunan yang membabi buta menjadi pemicu konversi lahan secara besar-besaran.
    Di sektor persampahan, produksi limbah domestik dan industri semakin bertambah. Tingkat konsumsi sekitar 44 juta rakyat Jawa Barat yang semakin besar akan berdampak pada peningkatan produksi sampah domestik. Rata-rata produksi sampah tiap kabupaten/kota di Jawa Barat sekitar 5 Juta liter/hari, berarti dalam setahun ini, volume sampah di Jawa Barat sekitar 130 Juta liter/perhari, jika diakumulasi dalam setahun maka sekitar 47.320 Juta liter/hari sampah dihasilkan. Sedangkan yang bisa ditangani dengan baik hanya sekitar 20% dari total volume sampah yang dihasilkan. Permasalahan tata kelola sampah komunal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dilakukan oleh propinsi dan kabupaten/kota di Jawa Barat juga masih buruk dan belum terkelola sesuai dengan manajemen pengelolaan sampah yang lebih memperhatikan lingkungan hidup.
    Selain sampah rumah tangga, produksi limbah cair, padat dan uap/gas dari pabrik /industri juga semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan industri di Jawa Barat. Sekitar 93% emisi pencemar dihasilkan oleh kegiatan industri. Berdasarkan data Dinas ESDM sekitar 226 perusahaan yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota memakai dan memproduksi limbah batu bara. Diperkirakan pada tahun ini, limbah batubara yang dihasilkan mencapai 3,5 juta ton, meningkat dari tahun 2009 yang mencapai 3,29 ton. Kemudian, limbah cair dan gas yang dihasilkan industri dan gas kendaraan bermotor dipastikan semakin meningkat. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor hingga tahun 2011 mencapai 5,8 Juta unit menjadi penyumbang emisi dan pencemaran udara yang signifikan.
    Di sektor sumber daya air yang memiliki kaitan dengan kualitas daerah aliran sungai di Jawa Barat menunjukan kondisi yang memprihatinkan. Keseluruhan DAS di Jawa Barat berada dalam kondisi kritis baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif sekitar 60%-80% DAS penting (Citarum, Ciujung, Cisadane, Citanduy, Cimanuk, Ciwulan, Cisanggarung dll) berada dalam situasi kritis. Berdasarkan laporan KLH, indeks kualitas air di Jawa Barat pada tahun 2009-2010 sekitar 15,33 berada di peringkat terendah diantara 33 propinsi di Indonesia. Dipastikan angka ini tidak akan mengalami kenaikan malah sebaliknya akan mengalami penurunan seiring dengan eksploitasi sumber daya air di Jawa Barat.
    Fenomena krisis ekologis juga terjadi di wilayah pesisir dan laut baik utara maupun selatan Jawa Barat. Di pesisir utara, alih fungsi kawasan mangrove, abrasi dan rob adalah fenomena krisis ekologi yang belum terpulihkan. Kemudian, di pesisir selatan Jawa Barat, pembangunan infrastruktur dan meluasnya aktivitas pertambangan pasir besi di pesisir selatan akan mengancam tatanan ekologi sekitar 5840 ha wilayah pesisir dan laut selatan Jawa Barat. Krisis di wilayah pesisir dan laut dipastikan akan mengancam keberlangsungan perikanan dan kelautan dan keberlanjutan keselamatan kehidupan kaum nelayan.
    Jika percepatan pembangunan dilakukan dengan memperluas penambangan di kawasan hutan, mengalihfungsikan kawasan lindung menjadi budidaya, pembangunan industri di kawasan lahan pertanian produktif, pembalakan hutan dilakukan dan praktik pembangunan yang tidak berpijak kerangka penataruang yang ada, maka sangat sulit 45% kawasan lindung Jawa Barat bisa tercapai.
.
Ancaman Krisis Ekologi
    Melihat fenomena dan kasus yang muncul, maka krisis ekologi di Jawa Barat merupakan ancaman dan dipastikan akan menimbulkan dampak bagi keberlanjutan kualitas kehidupan manusia, diantaranya :
    Pertama, bencana ekologi disertai bencana alam yang akan mengancam keselamatan kehidupan sekitar 44 juta rakyat Jawa Barat. Dampak bencana ekologis ini dapat ditunjukkan dengan krisis rawan pangan karena gagal panen, kekeringan di musim kemarau, terbatasnya ketersediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, peningkatan emisi, keterbatasan lahan, terancamnya ketersedian perumahan, sandang dan keberlanjutan kesehatan, kemiskinan dan berujung malapetaka kematian.
    Dari catatan WALHI Jawa Barat sepanjang tahun 2011, beragam bencana alam dan ekologi telah menewaskan sekitar 120 jiwa sedangkan frekuensi kejadian beragam bencana mencapai 2032 kali kejadian. Contoh kasus di Kabupaten Bogor misalnya, sejak Januari hingga Desember 2011, sebanyak 44 orang meninggal dunia. Sedangkan jumlah bencana di Bogor yang tercatat sebanyak 332 kali. Krisis juga diperparah dengan pembiaran dan penelantaran pemerintah propinsi dan kabupaten/kota terhadap warga korban beragam bencana (longsor, banjir, bajir bandang, rob dll)   yang tengah menjerit-jerit dan membutuhkan perlindungan. Kasus banjir di Jawa Barat meluas hingga 14 kabupaten/kota.
    Kedua, krisis ekologi telah berdampak pada semakin meluasnya sengketa ruang. agraria dan lingkungan hidup. Dari catatan WALHI Jawa Barat, sepanjang tahun 2011, rata-rata sengketa lingkungan hidup dan sumberdaya alam di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat mencapai 30-an kasus. Jika diakumulasi maka diperkirakan sekitar 720 kasus sengketa/konflik ruang dan lingkungan hidup terjadi di tahun 2011. Hampir sekitar 80%, konflik ruang dan lingkungan hidup memiliki kaitan erat dengan konflik agraria/pertanahan. Perkawinan sengketa ruang agraria dan lingkungan hidup terjadi di seluruh kawasan bioregional Cekungan Bandung, Ciayumajakuning, Purwasuka, Priangan Timur dan Pangandaran, Bodebekpunjur dan wilayah Sukabumi dan sekitarnya.
    Ketiga, ancaman konflik ekologi adalah terjadinya kriminalisasi terhadap warga/rakyat sebagai korban. Dalam kebanyakan kasus dan sengketa ruang dan lingkungan hidup yang ada, warga sebagai pihak korban harus berhadapan langsung dengan pengusaha dan pemerintah di pihak lainnya. Ancaman kriminalisasi diawali dengan tindakan represif, intimidasi, intervensi dari aparatus negara dan pihak pemodal/pengembang usaha terhadap warga yang memperjuang lingkungan hidup yang sehat. Berdasarkan catatan, sekitar 12 orang telah menjadi korban kriminalisasi di tahun 2011. Berdasarkan laporan dari LBH Bandung, tercatat sekitar 10 sengketa lingkungan yang berujung kriminalisasi yang telah ditangani dari ratusan kasus sengketa lingkungan yang ada.
    Keempat, krisis ekologis juga secara kualitatif berdampak pada kualitas kesehatan manusia itu sendiri. Kualitas kesehatan akan berpengaruh pada angka harapan hidup dan kematian manusia. Ada korelasi yang nyata antara kualitas lingkungan hidup yang sehat dengan tingkat harapan hidup manusia itu sendiri. Hal ini ditunjukan oleh meningkatnya kasus gizi buruk di masyarakat yang berujung pada kematian. Kelima, krisis ekologi berdampak pada konflik/sengketa sosial di masyarakat, selain sengketa rakyat dengan pengusaha dan pengurus negara. Dari pengalaman penanganan kasus ruang dan lingkungan hidup, konflik/sengketa sosial berupa pertengkaran antar keluarga, tetangga, masyarakat, masyarakat adat di lokasi-lokasi yang berkasus. Bahkan konflik sosial di masyarakat berujung kematian.

Faktor Utama Krisis
    Melihat fakta krisis ekologi yang terjadi di tahun ini, faktor utama krisis ekologi yang terjadi di Jawa Barat tidak berbeda dengan kondisi sebelumnya, diantaranya:
    Pertama, produksi kebijakan pemerintah tidak memihak pada keadilan ekologi. Produksi kebijakan pusat dan aturan di kementrian kehutanan, ESDM, Bappenas, pertanian, perdagangan, industri serta pekerjaan umum yang secara terus menerus menjadi pemacu terjadinya krisis ekologi di level lokal/daerah bahkan desa. Dalam konteks Jawa Barat, krisis ekologi terjadi akibat berjalannya agenda koridor ekonomi Jawa Barat yang dilegalisasi melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.
    Produksi kebijakan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota terus mengalir atas dalih peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kesejahteraan rakyat menjadi pemacu krisis ekologi. Kebijakan otonomi daerah dijadikan alat keruk eksploitatif sumber daya alam tanpa kendali kaidah lingkungan hidup seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan nilai-nilai kearifan lokal. Kebijakan RTRW bukan menjadi instrumen yang memberikan jaminan perlindungan ruang dan lingkungan hidup, namun menjadi pintu masuk perijinan pembangunan dan pengrusakan lingkungan hidup yang masif. Padahal, semua kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki potensi rawan dan rentan terjadinya beragam bencana ekologi.
    Kedua, penegakan hukum dan pengawasan ruang dan lingkungan masih lemah yang dijalankan aparatus negara. Indikasi lemahnya penegakan hukum ruang dan lingkungan dapat ditunjukkan dengan lemahnya kapasitas PPNS dalam melakukan pengawasan dan penyidikan kasus lingkungan hidup baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif, jumlah PPNS rata-rata setiap kabupaten/kota hanya memiliki 3-4 orang. Secara kualitatif, PPNS juga memiliki kapasitas yang rendah dari sisi komitmen, integritas dan kompetensi.
    Kondisi yang sama juga dialami oleh institusi kepolisian dan pengadilan. Rendahnya kapasitas penyidik kepolisian, kejaksaan dan kehakiman memahami secara komprehensif hukum tata ruang dan lingkungan hidup menjadi indikasi penegakan hukum lingkungan tidak berjalan. Dari catatan yang ada, dari 20 kasus pengrusakan ruang dan lingkungan yang dilakukan oleh pengusaha/pemodal yang masuk ruang pengadilan, hanya 3 kasus yang dimenangkan di persidangan. Situasi ini menunjukkan bahwa keadilan ruang dan lingkungan belum secara sejati ditegakkan. Salah satu kasus yang mengerikan, ketika warga desa  kampung Pangguh Desa Ibun, pencari kayu bakar di hutan harus menjalani tahanan dan persidangan sementara negara membiarkan ratusan pemodal/pengusaha yang melakukan pengrusakan lingkungan hidup (pencemaran, pembabat hutan, pelanggar tata ruang) dan jelas-jelas melanggar tata ruang dan lingkungan hidup tidak diseret ke pengadilan.
    Ketiga, masih rendahnya alokasi anggaran sektor lingkungan hidup untuk memulihkan krisis lingkungan hidup yang terjadi di daerah. Semisal di tahun 2011, APBD Propinsi Jawa Barat hanya menganggarkan sekitar Rp 9,9 milyar atau 1% dari total belanja setiap tahun untuk pemulihan dan pengelolaan lingkungan. Di kabupaten/kota rata-rata belanja untuk sektor lingkungan hidup  hanya 2-3 milyar atau 0,6 sampai 1% dari total belanja. Jumlah anggaran ini tidak sebanding dengan tingkat kerusakan dan potensi kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam yang dijalankan. Sementara, tingkat realisasi anggaran di tingkat daerahpun berkisar antara 75-80 persen, sehingga sisa anggaran rata-rata yang tidak terserap sekitar 20 persen per tahun.
    Keempat, belum terkelolanya aktivasi kesadaran dan partisipasi komunitas dan para pihak yang berpartisipasi nyata dalam memperbaiki lingkungan hidup di Jawa Barat. Rendahnya upaya pemajuan kesadaran dan partisipasi masyarakat merupakan faktor determinan yang berkontribusi nyata dalam memajukan kualitas lingkungan hidup. Rendahnya kesadaran masyarakat akan ruang dan lingkungan hidup disebabkan oleh terbatasnya akses informasi atas kebijakan perencanaan ruang dan lingkungan hidup serta pengelolaan lingkungan di pelbagai sektor. Namun, meluasnya praktik komunitas dan para pihak lainnya secara swadaya dalam melindungi ruang dan lingkungan hidup menunjukkan perubahan positif yang bisa dikelola secara kolektif.   
    Jejak krisis ekologi di Jawa Barat tahun 2011 menjadi catatan reflektif bersama, bahwa semua pihak masih memiliki pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan secara kolektif. Bahkan diprediksi, krisis ekologi ke depan akan semakin hebat, alam dan lingkungan hidup akan semakin rusak sejalan dengan kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali.
     Jejak krisis ekologi ini sekaligus menjadi catatan kritis atas kegagalan pengurus negara (Gubernur dan 26 Bupati/Walikota di Jawa Barat) dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan alam di Tatar Pasundan. Akhirnya, semoga rekaman jejak krisis ini membangkitkan kesadaran semua pihak untuk secara progresif memajukan kualitas lingkungan hidup, memastikan perlindungan koridor ekologi dan empat puluh lima persen kawasan lindung di bumi Tatar Pasundan bisa tercapai.