Kamis, 29 Desember 2011

Jejak Krisis Ekologi Tatar Pasundan 2011

Rekaman krisis ekologi di Jawa Barat sepanjang tahun 2011 semakin memprihatinkan dan menambah catatan sejarah buruknya perlindungan dan penegakan keadilan lingkungan hidup. Krisis ekologi dipastikan akan berdampak pada berkurangnya daya dukung dan tampung lingkungan hidup di bumi Jawa Barat. Krisis ekologi yang terjadi merupakan kelanjutan dari krisis pengrusakan alam dan lingkungan hidup sebelumnya yang belum terselesaikan, ditambah kasus-kasus baru yang mengemuka di 26 kabupaten/kota di Jawa Barat.

Fenomena Krisis Ekologi
    Fenomena krisis ekologis dapat kita periksa dari beragam kasus lingkungan hidup yang setiap hari muncul baik yang terpublikasikan maupun yang tidak terpublikasikan di media massa. Dari catatan WALHI Jawa Barat, setiap media dalam sehari mempublikasikan minimalnya sekitar lima kasus lingkungan hidup. Jika diakumulasikan maka sepanjang tahun 2011 diperkirakan sekitar 10.800-an kasus lingkungan hidup terjadi di kawasan bioregional Tatar Pasundan. Fenomena krisis ekologi mengemuka dibeberapa sektor penting diantaranya kehutanan, pertambangan, persampahan/limbah, penataan ruang, sumber daya air dan wilayah pesisir dan laut baik utara maupun selatan Jawa Barat.
    Di sektor kehutanan, krisis ekologis dapat di tunjukan dengan semakin kritisnya ekologi hutan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kualititatif, alih fungsi kawasan hutan baik di kawasan konservasi, lindung dan produksi semakin marak terjadi dan mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati, mengurangi pasokan ketersediaan air, longsor dan banjir di musim penghujan. Berdasarkan laporan dari Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia, Indek Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dari aspek tutupan hutan di Jawa Barat bernilai 38,69, berada dalam indeks kualitas yang sangat rendah.
    Secara kuantitatif, berdasarkan catatan WALHI Jawa Barat, praktik alih fungsi kawasan hutan hingga tahun 2011 terakumulasi sekitar 95.000 hektar atau 10% dari total kawasan hutan negara di Jawa Barat. Artinya jika rata-rata tegakan dalam 1 Ha adalah 1000 pohon maka sekitar 95 juta pohon lenyap dari hutan. Alih fungsi sebagian besar terjadi di kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani melalui skema kerjasama operasional (KSO) dan pinjam pakai kawasan. Kegiatan pertambangan mineral dan panas bumi baik terbuka maupun tertutup, wanawisata, pertanian dan pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang utama kerusakan hutan. Sementara, berdasarkan data dari BPLHD Jawa Barat tahun 2010 saja sekitar 515.000 Ha kondisi hutan masih berada dalam kondisi kritis dan belum terpulihkan.
    Di samping itu, pendapatan negara dari sektor kehutanan di Jawa Barat belum secara terbuka menjadi informasi publik. Kegiatan alih fungsi kawasan hutan menjadi pertambangan, wanawisata, dan jenis usaha lainya menyimpan potensi korupsi dan kerugian negara yang cukup besar. Berdasarkan kajian WALHI Jawa Barat, dari sekitar 18 perusahaan tambang di kabupaten Bogor diperkirakan pendapatan sektor kehutanan yang dihasilkan sekitar Rp 78 milyar selama 5 tahun, artinya dari satu perusahaan potensi pendapatan negara bisa mencapai rata-rata 4 Milyar dalam setahun.
    Berdasarkan data yang dimiliki WALHI Jabar, tercatat sekitar 790 KSO dan pinjam pakai kawasan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di 15 Kabupaten/Kota di Jawa Barat dalam rentang 2007-2012. Artinya potensi pendapatan dari KSO dan pinjam pakai kawasan jika diakumulasi rata-rata bisa mencapai Rp 3.160 milyar atau Rp 3,16 Trilyun. Bisa dipastikan betapa besarnya pendapatan dari sejumlah KSO dan pinjam pakai kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani serta kerjasama-kerjasama yang dilakukan BBKSDA dan Dinas Kehutanan di  Jawa Barat.
    Krisis ekologi di sektor pertambangan hingga akhir 2011, dapat ditunjukan dengan semakin meluasnya praktik pertambangan galian pasir mencapai sekitar 25.000 ha, pertambangan mineral galena, emas, mangan, karst dll mencapai sekitar 156.000 ha, pertambangan panas bumi di wilayah hutan konservasi, lindung dan produksi yang mencapai sekitar 1200 ha serta peningkatan kegiatan penambangan pasir besi yang terindikasi ilegal di selatan Jawa barat yang mencapai 3000 ha.
    Di sektor tata ruang, alih fungsi ruang dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya semakin meluas seiring dengan pembangunan infrastruktur, pemukiman, perdagangan, hotel, mall, jalan, bandara, waduk, PLTN dan sarana fisik lainnya. Perluasan perkebunan sawit juga semakin meningkat dan dipastikan mengurangi luasan lahan konservasi /resapan di Jawa Barat. Pembangunan yang membabi buta menjadi pemicu konversi lahan secara besar-besaran.
    Di sektor persampahan, produksi limbah domestik dan industri semakin bertambah. Tingkat konsumsi sekitar 44 juta rakyat Jawa Barat yang semakin besar akan berdampak pada peningkatan produksi sampah domestik. Rata-rata produksi sampah tiap kabupaten/kota di Jawa Barat sekitar 5 Juta liter/hari, berarti dalam setahun ini, volume sampah di Jawa Barat sekitar 130 Juta liter/perhari, jika diakumulasi dalam setahun maka sekitar 47.320 Juta liter/hari sampah dihasilkan. Sedangkan yang bisa ditangani dengan baik hanya sekitar 20% dari total volume sampah yang dihasilkan. Permasalahan tata kelola sampah komunal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dilakukan oleh propinsi dan kabupaten/kota di Jawa Barat juga masih buruk dan belum terkelola sesuai dengan manajemen pengelolaan sampah yang lebih memperhatikan lingkungan hidup.
    Selain sampah rumah tangga, produksi limbah cair, padat dan uap/gas dari pabrik /industri juga semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan industri di Jawa Barat. Sekitar 93% emisi pencemar dihasilkan oleh kegiatan industri. Berdasarkan data Dinas ESDM sekitar 226 perusahaan yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota memakai dan memproduksi limbah batu bara. Diperkirakan pada tahun ini, limbah batubara yang dihasilkan mencapai 3,5 juta ton, meningkat dari tahun 2009 yang mencapai 3,29 ton. Kemudian, limbah cair dan gas yang dihasilkan industri dan gas kendaraan bermotor dipastikan semakin meningkat. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor hingga tahun 2011 mencapai 5,8 Juta unit menjadi penyumbang emisi dan pencemaran udara yang signifikan.
    Di sektor sumber daya air yang memiliki kaitan dengan kualitas daerah aliran sungai di Jawa Barat menunjukan kondisi yang memprihatinkan. Keseluruhan DAS di Jawa Barat berada dalam kondisi kritis baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif sekitar 60%-80% DAS penting (Citarum, Ciujung, Cisadane, Citanduy, Cimanuk, Ciwulan, Cisanggarung dll) berada dalam situasi kritis. Berdasarkan laporan KLH, indeks kualitas air di Jawa Barat pada tahun 2009-2010 sekitar 15,33 berada di peringkat terendah diantara 33 propinsi di Indonesia. Dipastikan angka ini tidak akan mengalami kenaikan malah sebaliknya akan mengalami penurunan seiring dengan eksploitasi sumber daya air di Jawa Barat.
    Fenomena krisis ekologis juga terjadi di wilayah pesisir dan laut baik utara maupun selatan Jawa Barat. Di pesisir utara, alih fungsi kawasan mangrove, abrasi dan rob adalah fenomena krisis ekologi yang belum terpulihkan. Kemudian, di pesisir selatan Jawa Barat, pembangunan infrastruktur dan meluasnya aktivitas pertambangan pasir besi di pesisir selatan akan mengancam tatanan ekologi sekitar 5840 ha wilayah pesisir dan laut selatan Jawa Barat. Krisis di wilayah pesisir dan laut dipastikan akan mengancam keberlangsungan perikanan dan kelautan dan keberlanjutan keselamatan kehidupan kaum nelayan.
    Jika percepatan pembangunan dilakukan dengan memperluas penambangan di kawasan hutan, mengalihfungsikan kawasan lindung menjadi budidaya, pembangunan industri di kawasan lahan pertanian produktif, pembalakan hutan dilakukan dan praktik pembangunan yang tidak berpijak kerangka penataruang yang ada, maka sangat sulit 45% kawasan lindung Jawa Barat bisa tercapai.
.
Ancaman Krisis Ekologi
    Melihat fenomena dan kasus yang muncul, maka krisis ekologi di Jawa Barat merupakan ancaman dan dipastikan akan menimbulkan dampak bagi keberlanjutan kualitas kehidupan manusia, diantaranya :
    Pertama, bencana ekologi disertai bencana alam yang akan mengancam keselamatan kehidupan sekitar 44 juta rakyat Jawa Barat. Dampak bencana ekologis ini dapat ditunjukkan dengan krisis rawan pangan karena gagal panen, kekeringan di musim kemarau, terbatasnya ketersediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, peningkatan emisi, keterbatasan lahan, terancamnya ketersedian perumahan, sandang dan keberlanjutan kesehatan, kemiskinan dan berujung malapetaka kematian.
    Dari catatan WALHI Jawa Barat sepanjang tahun 2011, beragam bencana alam dan ekologi telah menewaskan sekitar 120 jiwa sedangkan frekuensi kejadian beragam bencana mencapai 2032 kali kejadian. Contoh kasus di Kabupaten Bogor misalnya, sejak Januari hingga Desember 2011, sebanyak 44 orang meninggal dunia. Sedangkan jumlah bencana di Bogor yang tercatat sebanyak 332 kali. Krisis juga diperparah dengan pembiaran dan penelantaran pemerintah propinsi dan kabupaten/kota terhadap warga korban beragam bencana (longsor, banjir, bajir bandang, rob dll)   yang tengah menjerit-jerit dan membutuhkan perlindungan. Kasus banjir di Jawa Barat meluas hingga 14 kabupaten/kota.
    Kedua, krisis ekologi telah berdampak pada semakin meluasnya sengketa ruang. agraria dan lingkungan hidup. Dari catatan WALHI Jawa Barat, sepanjang tahun 2011, rata-rata sengketa lingkungan hidup dan sumberdaya alam di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat mencapai 30-an kasus. Jika diakumulasi maka diperkirakan sekitar 720 kasus sengketa/konflik ruang dan lingkungan hidup terjadi di tahun 2011. Hampir sekitar 80%, konflik ruang dan lingkungan hidup memiliki kaitan erat dengan konflik agraria/pertanahan. Perkawinan sengketa ruang agraria dan lingkungan hidup terjadi di seluruh kawasan bioregional Cekungan Bandung, Ciayumajakuning, Purwasuka, Priangan Timur dan Pangandaran, Bodebekpunjur dan wilayah Sukabumi dan sekitarnya.
    Ketiga, ancaman konflik ekologi adalah terjadinya kriminalisasi terhadap warga/rakyat sebagai korban. Dalam kebanyakan kasus dan sengketa ruang dan lingkungan hidup yang ada, warga sebagai pihak korban harus berhadapan langsung dengan pengusaha dan pemerintah di pihak lainnya. Ancaman kriminalisasi diawali dengan tindakan represif, intimidasi, intervensi dari aparatus negara dan pihak pemodal/pengembang usaha terhadap warga yang memperjuang lingkungan hidup yang sehat. Berdasarkan catatan, sekitar 12 orang telah menjadi korban kriminalisasi di tahun 2011. Berdasarkan laporan dari LBH Bandung, tercatat sekitar 10 sengketa lingkungan yang berujung kriminalisasi yang telah ditangani dari ratusan kasus sengketa lingkungan yang ada.
    Keempat, krisis ekologis juga secara kualitatif berdampak pada kualitas kesehatan manusia itu sendiri. Kualitas kesehatan akan berpengaruh pada angka harapan hidup dan kematian manusia. Ada korelasi yang nyata antara kualitas lingkungan hidup yang sehat dengan tingkat harapan hidup manusia itu sendiri. Hal ini ditunjukan oleh meningkatnya kasus gizi buruk di masyarakat yang berujung pada kematian. Kelima, krisis ekologi berdampak pada konflik/sengketa sosial di masyarakat, selain sengketa rakyat dengan pengusaha dan pengurus negara. Dari pengalaman penanganan kasus ruang dan lingkungan hidup, konflik/sengketa sosial berupa pertengkaran antar keluarga, tetangga, masyarakat, masyarakat adat di lokasi-lokasi yang berkasus. Bahkan konflik sosial di masyarakat berujung kematian.

Faktor Utama Krisis
    Melihat fakta krisis ekologi yang terjadi di tahun ini, faktor utama krisis ekologi yang terjadi di Jawa Barat tidak berbeda dengan kondisi sebelumnya, diantaranya:
    Pertama, produksi kebijakan pemerintah tidak memihak pada keadilan ekologi. Produksi kebijakan pusat dan aturan di kementrian kehutanan, ESDM, Bappenas, pertanian, perdagangan, industri serta pekerjaan umum yang secara terus menerus menjadi pemacu terjadinya krisis ekologi di level lokal/daerah bahkan desa. Dalam konteks Jawa Barat, krisis ekologi terjadi akibat berjalannya agenda koridor ekonomi Jawa Barat yang dilegalisasi melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.
    Produksi kebijakan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota terus mengalir atas dalih peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kesejahteraan rakyat menjadi pemacu krisis ekologi. Kebijakan otonomi daerah dijadikan alat keruk eksploitatif sumber daya alam tanpa kendali kaidah lingkungan hidup seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan nilai-nilai kearifan lokal. Kebijakan RTRW bukan menjadi instrumen yang memberikan jaminan perlindungan ruang dan lingkungan hidup, namun menjadi pintu masuk perijinan pembangunan dan pengrusakan lingkungan hidup yang masif. Padahal, semua kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki potensi rawan dan rentan terjadinya beragam bencana ekologi.
    Kedua, penegakan hukum dan pengawasan ruang dan lingkungan masih lemah yang dijalankan aparatus negara. Indikasi lemahnya penegakan hukum ruang dan lingkungan dapat ditunjukkan dengan lemahnya kapasitas PPNS dalam melakukan pengawasan dan penyidikan kasus lingkungan hidup baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif, jumlah PPNS rata-rata setiap kabupaten/kota hanya memiliki 3-4 orang. Secara kualitatif, PPNS juga memiliki kapasitas yang rendah dari sisi komitmen, integritas dan kompetensi.
    Kondisi yang sama juga dialami oleh institusi kepolisian dan pengadilan. Rendahnya kapasitas penyidik kepolisian, kejaksaan dan kehakiman memahami secara komprehensif hukum tata ruang dan lingkungan hidup menjadi indikasi penegakan hukum lingkungan tidak berjalan. Dari catatan yang ada, dari 20 kasus pengrusakan ruang dan lingkungan yang dilakukan oleh pengusaha/pemodal yang masuk ruang pengadilan, hanya 3 kasus yang dimenangkan di persidangan. Situasi ini menunjukkan bahwa keadilan ruang dan lingkungan belum secara sejati ditegakkan. Salah satu kasus yang mengerikan, ketika warga desa  kampung Pangguh Desa Ibun, pencari kayu bakar di hutan harus menjalani tahanan dan persidangan sementara negara membiarkan ratusan pemodal/pengusaha yang melakukan pengrusakan lingkungan hidup (pencemaran, pembabat hutan, pelanggar tata ruang) dan jelas-jelas melanggar tata ruang dan lingkungan hidup tidak diseret ke pengadilan.
    Ketiga, masih rendahnya alokasi anggaran sektor lingkungan hidup untuk memulihkan krisis lingkungan hidup yang terjadi di daerah. Semisal di tahun 2011, APBD Propinsi Jawa Barat hanya menganggarkan sekitar Rp 9,9 milyar atau 1% dari total belanja setiap tahun untuk pemulihan dan pengelolaan lingkungan. Di kabupaten/kota rata-rata belanja untuk sektor lingkungan hidup  hanya 2-3 milyar atau 0,6 sampai 1% dari total belanja. Jumlah anggaran ini tidak sebanding dengan tingkat kerusakan dan potensi kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam yang dijalankan. Sementara, tingkat realisasi anggaran di tingkat daerahpun berkisar antara 75-80 persen, sehingga sisa anggaran rata-rata yang tidak terserap sekitar 20 persen per tahun.
    Keempat, belum terkelolanya aktivasi kesadaran dan partisipasi komunitas dan para pihak yang berpartisipasi nyata dalam memperbaiki lingkungan hidup di Jawa Barat. Rendahnya upaya pemajuan kesadaran dan partisipasi masyarakat merupakan faktor determinan yang berkontribusi nyata dalam memajukan kualitas lingkungan hidup. Rendahnya kesadaran masyarakat akan ruang dan lingkungan hidup disebabkan oleh terbatasnya akses informasi atas kebijakan perencanaan ruang dan lingkungan hidup serta pengelolaan lingkungan di pelbagai sektor. Namun, meluasnya praktik komunitas dan para pihak lainnya secara swadaya dalam melindungi ruang dan lingkungan hidup menunjukkan perubahan positif yang bisa dikelola secara kolektif.   
    Jejak krisis ekologi di Jawa Barat tahun 2011 menjadi catatan reflektif bersama, bahwa semua pihak masih memiliki pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan secara kolektif. Bahkan diprediksi, krisis ekologi ke depan akan semakin hebat, alam dan lingkungan hidup akan semakin rusak sejalan dengan kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali.
     Jejak krisis ekologi ini sekaligus menjadi catatan kritis atas kegagalan pengurus negara (Gubernur dan 26 Bupati/Walikota di Jawa Barat) dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan alam di Tatar Pasundan. Akhirnya, semoga rekaman jejak krisis ini membangkitkan kesadaran semua pihak untuk secara progresif memajukan kualitas lingkungan hidup, memastikan perlindungan koridor ekologi dan empat puluh lima persen kawasan lindung di bumi Tatar Pasundan bisa tercapai.

Kamis, 10 November 2011

Menakar LKPJ Gubernur Jawa Barat Tahun 2010 Untuk Penyelesaian Masalah Tata Ruang dan Lingkungan Hidup di Jawa Barat Oleh Dadan Ramdan (WALHI Jawa Barat)

Memulai dari Bacaan Peta Masalah Lingkungan Hidup di Jawa Barat
Secara kuantitatif dan kualitatif lingkungan hidup di Jawa Barat berada dalam kondisi yang sangat kritis dan genting, daya dukung lingkungan setiap saat terus berkurang seiring dengan kebijakan pembangunan yang belum sepenuhnya memihak pada lingkungan hidup dan cenderung lebih memihak pada kepentingan para pemodal /pengusaha besar.
Secara kuantitatif situasi kritis ini dapat kita periksa dari lahan hutan kritis di Jawa Barat mencapai sekitar 400.000-600.000 ha dari total 1,1 Juta ha lahan hutan yang ada. Selain itu, berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis di Pulau Jawa, konversi lahan sawah menjadi industri mencapai 55,7% dengan laju konversi 0,3% pertahun. Kawasan Bopuncur yang semakin krisis akibat pembangunan dan penebangan serampangan. Sekitar 65% dari total 40 DAS di Jawa Barat berada dalam keadaan rusak. Kerusakan paling besar terjadi di daerah aliran sungai Citarum, Citanduy, Cimanuk dan Ciwulan. Kondisi ini akan berdampak pada semakin menurunnya debit sumber air dan ketersediaan air permukaan semakin berkurang, sedangkan kerawanan ketersediaan air Citarum mengancam pasokan energi listrik tenaga air di pusat pembangkit listrik di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur Purwakarta. Data menunjukan aliran mantap di pulau Jawa sekitar 47.268 juta m3/tahun sementara keperluan air sekitar 59.838 juta m3/tahun artinya diperkirakan terjadi defisit ketersediaan air sekitar 12.570 juta m3/thn. Situasi ini akan mengancam keselamatan rakyat untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup dan air  yang sehat.
Secara kualitatif, situasi kritis dapat ditunjukan dengan semakin berkurangnya keanekaragaman hayati, kualitas udara bersih yang semakin menurun serta kualitas air permukaan yang semakin tercemar. Kerusakan air  yang paling hebat dialami oleh sungai-sungai yang berada di zona-zona industri polutif di Kawasan Cekungan Bandung, di Subang, Karawang, Purwakarta, Majalengka, Indramayu  dll di Propinsi Jawa Barat akibat pencemaran oleh pabrik-pabrik yang membabi buta dan limbah rumah tangga dan persampahan dari kawasan perkotaan, pembangunan PLTSA serta pencemaran akibat aktivitas pertambangan di Garut Selatan, Bogor dll. Di beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat pun, pencemaran merebak hingga ke pesawahan-pesawahan milik petani. Situasi krisis juga diperparah dengan eksploitasi dan privatisasi sumber air oleh pemodal-pemodal yang menyebabkan akses rakyat terhadap air bersih dan minum semakin terbatas.
Beberapa laporan lapangan dan data yang terinventarisir WALHI Jawa Barat saat ini, menunjukkan beragam kasus lingkungan terus merebak, diantaranya
1.   Pengrusakan lingkungan di Cekungan Bandung mencapai 60.000 Ha dan pembangunan di kawasan Bandung Utara yang terus dibiarkan. Pembangunan pariwisata, perhotelan, penginapan, villa terus berlangsung menjadikan kawasan resapan air dan konservasi semakin berkurang. Kasus baru yang muncul misalnya pembangunan hotel oleh PT Bandung Pakar,  PT Dewa Sutratex, Pembangunan Hotel Luxton, pengrusakan vegetasi oleh PT GRPP di Gunung Tangkuban Perahu, pengembangan wisata di Gunung Patuha dll.
2.  Rusaknya kawasan hutan dan terancam punahnya keanekaragaman hayati di Gunung Guntur, Papandayan, Sancang, Manglayang dan Gunung Wayang
3.    Rusaknya sekitar 1040 Ha Hutan Mangrove yang berada di pesisir Utara Indramayu dan sekitar 8000 ha Hutan Mangrove di Cilamaya Wetan Kabupaten Karawang
4.   Rusaknya kondisi ekologis di DAS Cimanuk, Citanduy dan Ciwulan yang berada di Kawasan Priangan Timur Jawa Barat
5.      Eksploitasi Penambangan Pasir Besi dan Emas di Jawa Barat bagian Selatan  terjadi di kawasan  konservasi, lindung dan rawan bencana yang terus menerus.
6.      Ada sekitar 792 kersajama Operasional (KSO) dan kerjasama pinjam kawasan yang dilakukan oleh Perhutani (KPH-KPH) cacat secara administrasi, telah menyebabkan alinh fungsi lahan kawasan hutan menjadi pertambangan, dan tidak memiliki dokumen Amdal, UKL dan UPL yang jelas.

Indikator Keberhasilan Kebijakan dan Program Lingkungan Hidup di Tahun 2010 berdasarkan Janji Gubernur dan RPJMD tahun 2008-2010

Janji Gubernur Jawa Barat

Target Indikator Pencapaian Program dan Kegiatan di Tahun 2010  Berdasarkan Dokumen RPJMD tahun 2011-2013
Pengembangan dan penataan kawasan pendidikan Jatinangor
 Menghentikan alih fungsi lahan pertanian untuk menyelamatkan pertanian dengan target 50 Ha
Menurunnya Luas konversi lahan  Pertanian (ha/th) dengan capaian laju penurunan konversi sekitar 3,55 ha/tahun

Berdasarkan kebijakan dan program yang tercantum dalam penjabar misi 4 : meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan. Paling tidak ada 10 point beberapa indikantor capaian di tahun 2010 yang harus dipenuhi oleh pemerintah Jawa Barat, diantaranya :
1.    Meningkatkan penanganan persampahan perkotaan mencapai  dengan target capaian  59%
2.    Pembentukan PPNS bidang penataan ruang
3.    Terehabilitasinya lahan kritis seluas 60.000 ha dan Pengembangan kemitraan dalam GRLK
4.    Penataan fungsi kawasan lindung non hutan utk kawasan Ciayu majakuning,
5.    Pemulihan dan rehabilitasi kawasan
6.    Penanganan daerah hulu sungai prioritas (industri dan domestik )
7.    Peraturan Daerah RTR Kawasan Strategis Provinsi dan dan Kajian RTR Kawasan Strategis Provinsi
8.    Fasilitasi pembentukan kawasan lindung baru di Bakorwil Bogor
9.    Fasilitasi Pembentukan BPBD Kab/ Kota dan penyempunaan pranata PB
10. Peningkatan peran masyarakat dalam perlindungan kawasan Ciayumajakuning

Sumber :
1. Lampiran peraturan gubernur tentang rpjm daerah Provinsi jawa barat tahun 2008-2013 Buku ii b Tabel indikator kinerja program Rencana pembangunan jangka menengah (rpjm) daerah Provinsi jawa barat tahun 2008-2013
2. Lampiran peraturan gubernur tentang rpjm daerah Provinsi jawa barat tahun 2008-2013
  Buku ii a Tabel indikator kinerja program Rencana pembangunan jangka menengah (rpjm) daerah Provinsi jawa barat tahun 2008-2013






Menilai Proporsi Anggaran yang Dikeluarkan Pada Tahun 2010
Besar anggaran belanja langsung di 5 SOPD di propinsi yang dikeluarkan dalam bentuk program dan kegiatan adalah sebagai berikut :

Belanja Langsung Program dan Kegiatan Tahun 2010





No
Dinas
Besar Belanja  (Milyar)
Besar Belanja Kantor dan Aparatur (Milyar)
Jumlah Kegiatan
1
BPLHD
11,40
3,42
26
2
BPBD
3,90
0,78
7
3
Kehutanan
36,50
7,30
22
4
Bappeda
25,70
5,14
36
5
Pengelolaan Sumber Daya Air
107,9
21,58
68


185,4
38,22
159

Sedangkan proporsi anggaran yang dikeluarkan oleh Dinas-Dinas yang memiliki kaitan dengan sektor Tata ruang dan Lingkungan Hidup sebagai berikut ini :

Dari tabel dan bagan di atas dapat kita periksa bahwa:
1.      Selama tahun 2010 jumlah anggaran yang dikeluarkan oleh OPD yang memiliki kaitan erat dengan sektor lingkungan hidup sangat besar sekitar 185, 4 Milyar. Namun sekitar 20% digunakan untuk  biaya aparatur, administrasi dan kantor diluar gaji pegawai sehingga mencapai 38, 22 Milyar. Hanya  147 Milyar digunakan untuk belanja program dan kegiatan yang sesungguhnya atau sekitar 80% dari total belanja langsung yang dibelanjakan untuk masalah tata ruang dan lingkungan hidup. Seharusnya anggaran sebesar itu digunakan untuk penyelesaian masalah tata ruang dan lingkungan di Jawa Barat
2.      Meskipun jumlah kegiatan relatif banyak namun jenis kegiatan pembangunan yang dilakukan lebih banyak digunakan oleh internal SOPD yang bersangkutan, seperti biaya-biaya workshop, pelatihan, seminar, rapat atau pertemuan dan biaya administrasi kantor dan penyusunan data dase dan sistem informasi.
3.      Sementara belanja-belanja program yang dikeluarkan tidak ditujukan langsung pada penyelesaian masalah tata ruang dan lingkungan hidup seperti dalam kasus pencemaran lebih pada kegiatan koordinasi dan fasilitasi kondisi pencemaran, bukan langsung misalnya pengaduan kasus pencemaran hingga masuk pengadilan dan dipenjarakan, secara kualitas banyak output kegiatan yang tidak berhasil.
4.      Besar pengeluaran anggaran yang dikeluarkan tidak sebanding dengan jumlah penyelesaian kasus-kasus lingkungan dan tata ruang di Jawa Barat. Penyelesaian kasus lingkungan lebih banyak dilakukan dalam bentuk inventarisasi data dan informasi, pelatihan dan workshop


Analisa Perbandingan Program dan kegiatan di tahun 2010 Vs Indikator Pencapaian dalam RPJMD Tahun 2008-2013

Perbandingan program dan indikator capaian yang ada dalam RPJMD adalah sebagai berikut :

Program LKPJ tahun 2010
Indikator Capaian dalam RPJMD
Bidang Penataan Ruang
    a. Menyiapkan pranata pelaksanaan penataan ruang provinsi;
    b. Mengembangkan infrastruktur data spasial daerah yang terintegrasi dalam jaringan data spasial nasional;
    c. Meningkatkan peran serta masyarakat, dunia usaha, pemerintah daerah dalam pelaksanaan penataan ruang;
    d. Memantapkan peran provinsi dalam koordinasi penataan ruang.
5. Bidang Kehutanan
     Meningkatkan pengamanan dan pencegahan kerusakan    kawasan hutan.
6. Bidang Lingkungan Hidup
    a. Meningkatkan upaya pemulihan dan konservasi   sumberdaya air, udara hutan dan lahan;
    b. Mengurangi Resiko Bencana;
    c. Meningkatkan fungsi dan luas kawasan lindung.

1.      Meningkatkan penanganan persampahan perkotaan mencapai  dengan target  capaian  59%
2.    Pembentukan PPNS  bidang penataan ruang
3.    Terehabilitasinya lahan kritis seluas 60.000 ha dan Pengembangan kemitraan dalam GRLK
4.    Penataan fungsi kawasan lindung non hutan untuk kawasan Ciayu majakuning,
5.    Pemulihan dan rehabilitasi kawasan
6.    Penanganan daerah hulu sungai prioritas (industri dan domestik )
7.    Peraturan Daerah RTR Kawasan Strategis Provinsi dan dan Kajian RTR Kawasan Strategis Provinsi
8.    Fasilitasi pembentukan kawasan lindung baru di Bakorwil Bogor
9.    Fasilitasi Pembentukan BPBD Kab/ Kota dan penyempunaan pranata PB
10. Peningkatan peran masyarakat dalam perlindungan kawasan Ciayumajakuning

Dari perbandingan program /kegiatan pada tahun 2010 dan indikator capaian yang tercantum dalam RPJMD dapat kita simpulkan bahwa
1.      Secara umum, Program dan kegiatan yang dilakukan di tahun 2010 tidak bisa menjawab masalah lingkungan hidup di Jawa Barat
2.      Secara umum belum ada sinkronisasi program dan kegiatan  antara program kegiatan pada tahun 2010 dengan target pencapaian program dan kegiatan yang direncanakan dalam RPJMD tahun 2008-2013
3.      Beberapa indikator capaian program dan kegiatan yang dicantumkan dalam RPJMD tidak bisa tercapai misalnya dalam fasilitasi pembentukan kawasan lindung tidak dilakukan dan tidak terukur seberapa luas kawasan lindung yang berhasil diselamatkan, indikator lain misalnya belum terfasilitasi pembentukan BPBD di 26 Kabupaten/kota di Jawa Barat, pe
4.      Program dan kegiatan yang dijalankan pada tahun 2010 belum diarahkan pada upaya penyelesaian masalah lingkungan seperti penegakan hukum tata ruang dan lingkungan, upaya pemulihan lahan kritis berbasis kawasan dan DAS, pengendalian pencemaran dengan mengadili para pelaku pencemaran oleh pabrik, bertambahnya jumlah PPNS. Padahal, masalah lingkungan di Jawa Barat sangat kritis, pemerintah propinsi hanya belum memiliki terobosan kebijakan dalam kerangka penyelesaian masalah lingkungan di Jawa Barat namun kegiatan yang diarahkan pada inventarisasi data dan informasi, padahal kasus-kasus  lingkungan sudah sangat kritis dalam kurun waktu 10-15 tahun.
5.      Kuantitas dan kualitas kegiatan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup masih sangat minim. Kasus-kasus lingkungan yang terjadi lambat direspon khususnya yang berkaitan dalam sengketa kawasan seperti Bandung Utara, Cekungan Bandung, Bopuncur, Pantura dan lain-lain.
6.      Keterbatasan akses masyarakat terhadap dokumen perencanaan dan perijinan pembangunan


Rekomendasi WALHI Jawa Barat
Berdasarkan pertimbangan telaahan WALHI Jawa Barat berkaitan dengan
1.      Dinas-dinas harus melakukan efisiensi anggaran dengan jalan mengurangi anggaran biaya untuk administrasi kantor, biaya-biaya workshop dan pertemuan-pertemuan, honor-honor aparatur diluar gaji yang ditetapkan.
2.      Program dan kegiatan yang dilakukan seharusnya menohok pada upaya problem solving kasus-kasus lingkungan dan penyelesaian kasus atau sengketa lingkungan hidup dalam skala kawasan
3.      Gubernur harus benar-benar menjalankan fungsi evaluasi dan koordinasi terhadap kebijakan pembangunan di tingkat kabupaten/kota yang mengancam keberlangsungan ekologis, melanggar hukum tata ruang dan mengancam keselamatan masyarakat di Jawa Barat.
4.      Pemerintah Propinsi Jawa Barat seharusnya menjalankan kerangka aturan dalam kerangka penegakan hukum tata ruang dan lingkungan di Jawa Barat
5.      Pemerintah propinsi harus memberikan fasilitasi perluasan informasi berkaitan dengan dokumen perencanaan dan perijinan pembangunan

Sabtu, 01 Oktober 2011

Voice of Bandung Civil Society To The World


Voice of Bandung Civil Society To The World:
The Mayor of Bandung City Has Failed in Managing Space and Environment

The Bandung civil society are welcoming well the UNEP’s Children and Youth Conference on Environment which takes place in Babakan Siliwangi, Bandung City. As well the citizens of Bandung City fully appreciate and support the declaration of Babakan Siliwangi as world city forest. Historically, it has been 10 years the citizens of and the communities in Bandung City fighting for it to be a city forest, and to be a public space which is truly for public interests; not for economic and commercial interests.

But—important for the UN, the international world and the conference participants to know—behind this conference, there are in fact many problems in managing space and environment caused by the policies and attitudes of the Mayor of Bandung City who does not take side on citizen and justice to have a healthy and clean environment. Babakan Siliwangi, which is declared by the UN as world city forest, yet is not respected by the Mayor of Bandung City. This is shown by the attitude of his who persistently will run the cooperation with industrialist EGI CV to build a restaurant on Babakan Siliwangi. This situation proves that he is a leader who does not take side on the public and on the continuity of the environment itself.

It is terribly ironic when the conference participants from various countries in the world are placed at Marbella and Luxton hotels which evidently break the policies of space and environment order. We all must know, that the Luxton Hotel is at a location which has been legally disputed where the citizens being the victim of injustice of the industrialist and city government’s policies, while the Marbella Hotel is at the North Bandung Area which is protected and functions as water absorption.

Besides the above cases, a heap of problems and cases on space and environment caused by the Mayor’s policies that are wrong and do not take side on the citizens safety and the environment continuity have happened and been happening. For example, the citizens of Cempaka Arum Residence, Gedebage, have been a victim and been screaming asking the world support to fight the policy of building of Garbage-powered Electricity Generator (PLTSa) using incinerator system which will produce air pollution in Bandung Sphere; sacred grave of the citizens of Batununggal, Buahbatu, is threatened being condemned for the building of road and residence by Batununggal Perkasa CV; the citizens of Bangbayang and Tubagus Ismail are threatened being removed for the building of apartment by KAGUM Group; the citizens of Kiara Condong are removed for the building of mall and supermarket; the building of hotel and villa by DUSP CV and Citra Green Dago (Ciputra Group) in Punclut Area breaks the space order policy; the poor urban citizens have been experiencing water crisis and conflict; the floods in rain season are getting extensive; historical buildings and cultural pledges are demolished; the building of malls and supermarkets breaks the space order policy; and many other environment cases.

While the participation of the citizens and the urban societal communities in managing space and environment to be better, cleaner, more healthy, green, and comfortable is getting stronger and extensive, the Mayor of Bandung City on the contrary has showed his failure in managing space and environment in Bandung City. He has failed meeting the demand of 20% green opened-space in Bandung (as stated by BPK/Financial Audit Board No 78/S/XVII.BDG/12/2007. He has failed being the people leader who takes side on the citizen safety and the healthy, clean, green and comfortable environment.
Bandung, October 1st, 2011