Rabu, 03 Oktober 2012

Spiritualitas dan Etika Ekologis



Spiritualitas dan Etika Ekologis
Oleh Dadan Ramdan Harja*

Kerusakan dan kehancuran ekosistem alam yang semakin kronis saat ini, tak lepas dari keberadaan, peran dan posisi manusia sebagai subjek perubahan, pelaku utama kehidupan di bumi. Di luar mekanisme dan etika alamiah alam semesta yang bekerja berdasarkan hukum alam yang dinamis dan memengaruhi kehidupan ekosistem bumi. Peran artifisial manusia sangat signifikan dalam mempengaruhi keberlanjutan dan keseimbangan alam serta siklus kehidupan mahluk hidup lainnya yang satu sama lain saling mempengaruhi.
Pola sikap, pikir dan tindak manusia di bumi telah memasifkan kerusakan ekosistem. Peran manusia yang diartikulasikan dan diwujudkan dalam kebijakan dan keputusan politik, perilaku, tradisi masyarakat telah menyuburkan terjadinya patologi ekologi. Fenomena pencemaran tanah, air dan udara yang semakin meningkat, kuantitas dan kualitas hutan yang semakin berkurang, kekeringan dan kelangkaan air, banjir dan longsor, produksi sampah yang terus meningkat, kepunahan fauna dan flora serta fenomena krisis dan bencana ekologis lainnya disebabkan oleh aktivitas manusia.

Manusia, etika dan spritualitas
            Manusia telah menjadi predator dan monster bagi semua mahluk di bumi. Padahal, semua mahluk biotik dan abiotik memiliki hak yang sama untuk hidup. Manusia menjadi satu-satunya mahluk yang melahirkan patologi dan bencana ekologis di bumi. Situasi ini menjadi pertanda, manusia mengalami krisis spiritualitas dan etika ekologis. Pada diri manusia, spiritualitas dan etika ekologis semakin menjaug dan mengering di aras kehidupan semua mahluk hidup di bumi.
            Spritualitas ekologi bisa diartikan sebagai semangat, nilai dasar gerak dan tindakan manusia untuk hidup selaras alam yang didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan yang telah menciptakan alam semesta dan menitipkannya kepada manusia. Etika ekologis dapat kita definisikan sebagai tatanan pola pikir, sikap dan tindak sebagai bagian dari tradisi yang memiliki kaitan erat dengan perilaku manusia yang mengatur dimensi hak dan kewajiban manusia sebagai mahluk hidup. Selain itu, etika ekologi juga mengajarkan kepada manusia, bahwa hak alam dan mahluk hidup lainnya juga penting untuk dilindungi.
Spritualitas dan etika ekologis memastikan bahwa manusia tidak diijinkan untuk semena-mena, serakah, dan rakus mengelola sumber kehidupan di bumi sesuai dengan hasrat dan nafsu kemanusiaannya. Spiritualitas dan etika ekologis memberikan pedoman bahwa alam ini bukan hanya untuk generasi sekarang belaka, namun jauh lebih penting bagaimana generasi ke depan pun perlu diselamatkan.
Dalam kontesk spirualitas dan etika ekologis, Peter Kropotkin menegaskan bahwa Alam adalah guru etika pertama manusia. Kemudian, Fritjof Capra mengatakan ekologi dan spiritualitas secara fundamental terbubungkan, karena sejatinya kesadaran ekologis yang paling mendalam adalah kesadaran spiritual itu sendiri. Sementara, Mircea Eliade menegaskan bahwa perilaku religiusitas manusia memberikan kontribusi dalam mengelola dan menjaga kesucian dunia.
           
 Sumber Pembelajaran
            Sebenarnya, praksis spiritualitas dan etika ekologis di bumi nusantara bisa kita pelajari dari beragam sumber pengetahuan yang tersebar luas. Keanekaragaman sumber spritualiatas dan etika ekologis bisa kita pelajari dari kearifan sistem adat, ajaran agama dan nilai tradisi baru komunitas.
            Kehidupan adat istiadat masa lalu masyarakat dan bangsa di nusantara menjadi sumber spiritual dan etika yang masih relevan untuk dijadikan solusi penyembuhan penyakit ekologis. Praksis tradisi kehidupan masyarakat adat bisa kita temukan dalam tradisi adat Sunda, Bali, Dayak, dan suku-suka lain yang tersebar luas. Intinya, bagaimana adat istiadat mengatur hubungan manusia, alam dan Sang Penciptanya secara selaras. Kehidupan masyarakat Baduy di Lebak, bisa dijadikan salah satu pengalaman praktik kehidupan yang memadukan spiritualitas dan etika ekologis dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sistem agroekosistem masyarakat Baduy yang telah dilakukan turun-temurun adalah contohnya.
            Selain dari adat istiadat yang masih relevan, ajaran semua agama pun memberikan pembelajaran dan pengalaman bagaimana cara manusia berinteraksi dengan alam dan sang penciptanya. Pada hakikatnya, ajaran Islam, Tao, Hindu, Budha, Kristen dan agama lainnya merupakan sumber referensi yang bisa dijadikan pijakan dan prinsip dasar dalam kehidupan di Bumi.Bahkan Agama Buddha, Tao, Konfusianisme, dan Shinto, menganggap alam sebagai sakral.
Muhamad Ali menyatakan dalam ajaran Islam, ada prinsip "jangan merusak" (la darara wa la dirara), prinsip taskhir (wewenang menggunakan alam guna mencapai tujuan penciptaan) dan prinsip istikhlaf (wakil Tuhan di bumi yang bertanggung jawab, responsible trusteeship). Dalam Ajaran Islam, banyak di temukan ayat-ayat dalam Kitab Suci Al Qur;an yang bisa dijadikan pedoman spritualitas dan etika ekologis kita. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bagaimana manusia menjadi bagian dari lingkungan hidup itu sendiri, diantaranya menjaga dan memelihara makhluk hidup, Menghidupkan lahan yang mati, melakukan penanaman pohon dan penghijauan.
Sementara, ajaran Buddha mengatakan pepohonan dan bumi memiliki semangat Buddha, yaitu kehidupan. Tao mengajarkan hubungan harmonis manusia dan alam. Konfusius menekankan langit dan bumi dinamakan orang tua agung yang memberi kehidupan dan kebutuhan hidup. Ajaran Kristian sebagaimana yang diungkapkan oleh Eduardo Agosta menyatakan dari sudut pandang trinitarian, realitas dunia ini sesungguhnya adalah Allah, manusia dan ciptaan lain (baik yang terlihat maupun yang tak terlihat), yang disatukan oleh Kekuatan Ilahi, yang merupakan sumber yang menghidupkan dan sekaligus yang menjaga keberlangsungan realitas dunia.
         
Menyuburkan Etika Ekologis
            Menjawab situasi patologi ekologis yang semakin kronis maka spiritualitas dan etika ekologi semakin relevan sebagai sebuah basis solusi untuk menyelamatkan ekosistem bumi. Saat ini, spiritualitas dan etika ekologi manusia yang semakin mengering dalam kehidupan. Spiritualitas dan etika ekologis bisa menjadi sebuah jalan penyembuhan krisis dan penyakit ekologis ke depan. Manusia perlu dan harus menyuburkan kesadaran, spiritualitas dan etika ekologi ini dalam berbagai dimensi kehidupan, Sistem ketatanegaraan dan kebijakan ekonomi politik, praktik hidup pribadi dan komunitas serta masyarakat secara meluas.
        Untuk menyuburkan spritualitas dan etika ekologis ini, maka keberadaan dan peran institusi sosial seperti lembaga pendidikan, keagamaan dan adat menjadi sangat penting. Peran institusi sosial dalam menyuburkan spiritualitas dan etika maka secara langsung akan mempengaruhi kebijakan atau keputusan-keputusan baik secara individual dan publik yang lebih memihak pada keberlanjutan ekologi. Dengan demikian, kita masih memiliki harapan, masa depan bumi sebagai sumber etika dapat terselamatkan.

*Penulis adalah Direktur WALHI Jawa Barat 2011-2015.No Kontak 082116759688.


Minggu, 26 Agustus 2012

Politik Ekologi Pemimpin Daerah


Politik Ekologi Pemimpin Daerah

Fenomena kerusakan lingkungan hidup (baca: ekologi) yang terjadi saat ini harus kita pahami sebagai persoalan yang serius. Kerusakan ekologi bukan hanya terjadi di permukaan dan perut bumi tetapi sudah merambah ke lapisan atmosfer bumi di atasnya. Kerusakan ekologi sudah merebak, meluas dan melintas batas mulai wilayah perkotaan hingga perdesaan di daerah. ke depan, kita tidak akan memiliki tempat yang aman untuk berpijak dan  melanjutkan mandat kehidupan.

Fenomena kerusakan lingkungan hidup ini bisa kita bedah dari pendekatan politik ekologi dimana kerusakan lingkungan hidup beserta konflik yang ada di dalamnya tak terlepas dari kepentingan ekonomi politik. Menurut Peluso dan Watts (2001), kerusakan dan konflik tata kelola lingkungan hidup dipengaruhi oleh perhitungan aspek kekuasaan, keadilan distribusi, cara pengontrolan, kepentingan jejaring lokal-nasional-global, kesejarahan, gender, dan peran aktor. Paul Robbin (2004) menjelaskan bagaimana fakta-fakta degradasi lahan, marjinalisasi, konflik lingkungan hidup dan politik konservasi memiliki kaitan dengan aspek ekonomi politik sebagai basis analisa politik ekologi.

Dalam perspektif politik ekologi skala global, peran  pemodal (asing) telah ikut andil memperlemah kontrol negara dalam mengatur, mengurus dan mendistribusikan kekayaan alam sebagai sumber kehidupan masyarakat secara berkeadilan. Dominasi pemodal dalam proses pengambilan kebijakan dan keputusan ekonomi politik di level pemerintah nasional tidak dapat dibendung. Negara telah turut andil merestui dan meligitimasi ketimpangan, pemiskinan, ketidakadilan dan kerusakan ekologi. Saat ini, negara ini telah kehilangan kemerdekaannya untuk menentukan nasibnya sendiri dan rakyat pun kehilangan kedaulatan politik untuk menjalankan kuasanya. Negara telah gagal memastikan supremasi kedaulatan dan kemerdekaan sejati.

Patologi Otonomi Daerah
Celakanya, dalam skala lokal, fonemena kerusakan dan sengketa tata kelola sumber daya alam dan lingkungan hidup semakin merebak di daerah. Patologi dan bencana ekologi dan sosial pun tak terhindarkan, mulai konflik hingga malapetaka kematian manusia dan mahluk hidup lainnya seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang digulirkan oleh pengusung reformasi sejak keruntuhan rezim kekuasaan orde baru. Setiap hari media massa pasti akan mempublikasikan beragam masalah lingkungan hidup hampir di setiap daerah di Indonesia. Hal ini menjadi semacam patologi otonomi daerah yang semakin akut dan kronis.

Di era otonomi daerah, politik ekologi yang dijalankan oleh penguasa daerah begitu signifikan dalam memacu kerusakan ekologi di daerah. Kewenangan (otoritas) daerah dan aktor-aktor politik penguasa daerah begitu kuat memengaruhi pengambilan keputusan dan kebijakan publik mulai pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan yang dijalankan, termasuk tata kelola sumber daya alam dan lingkungan hidup di dalamnya.

Tidak dapat disangkal, otonomi daerah kemudian telah dibajak oleh persekongkolan pemodal dan pemimpin daerah untuk mengeruk sumber daya alam secara eksploitatif dan membabi buta tanpa memerdulikan keberlanjutan kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup sebagai sumber kehidupannya. Di sisi lain, politik anggaran pemerintah daerah pun tidak menunjukkan indikasi perubahan positif pada upaya pemulihan dan perbaikan lingkungan hidup yang terjadi. Minimnya alokasi anggaran perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan rata-rata tiga milyar per kabupaten/kota sangat jauh dari komitmen pemulihan lingkungan hidup itu sendiri.

Atas dalih peningkatan PAD, kesejahteraan dan keberlangsungan lingkungan hidup, pemimpin daerah yang di sokong pemodal dengan serakah melakukan perusakan lingkungan hidup secara sistemis. Mandat politik rakyatpun telah disalahgunakan demi kepentingan ekonomi dan politik pribadi dan sekelompok golongan/partisan. Penguasa daerah pun semakin merasakan kenikmatanya melakukan perselingkuhan kebijakan dengan keputusan politik yang tidak sejalan dengan kerangka aturan yang ada. Celakanya, praktik ini kemudian di restui dan dilegitimasi oleh parlemen daerah yang tidak berdaya dan bernyali.

Komitmen Pemimpin Daerah
Mencermati komitmen politik pemimpin daerah yang memihak pada lingkungan hidup dan rakyat, regenerasi pemimpin daerah melalui proses pemilu kepala daerah menjadi penting disikapi. Pemilihan kepala daerah merupakan pintu awal apa dan bagaimana komitmen politik ekologi akan dijalankan. Saat ini dan ke depan, sejumlah daerah di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya akan menjalankan pemilu kepala daerah. Artinya, ratusan pemimpin dan kepala daerah akan dilahirkan.

Di tengah ketidakberdayaan parlemen daerah yang cenderung memihak dan merestui kebijakan dan keputusan politik bupati dan walikota maka rakyat harus lebih rasional dalam menentukan pemimpin daerahnya. Rakyat akan sangat tergantung pada komitmen politik ekologi dari bupati atau walikota yang dipilihnya. Sudah selayaknya, rakyat tidak lagi terjebak pada janji-janji manis dan transaksi politik jangka pendek dengan para kandidat. Rakyat pun harus segera menyusun kriteria pengujian, agenda dan mandat politiknya kepada para kandidat untuk dijalankan setelah terpilih.

Menguji komitmen pemimpin daerah yang memperjuangkan keadilan ekologi menjadi tindakan awal yang harus dilakukan. Tindakan awal ini bisa dilakukan dengan memeriksa rekam jejak para kandidat sebelumnya baik yang sudah memiliki pengalaman dalam birokrasi negara maupun para kandidat yang belum masuk ke birokrasi dari kader yang diusung partai politik atau independen.  

Ada beberapa indikator yang bisa dipertimbangkan dalam melakukan rekam jejak kandidat pemimpin daerah yang akan didukung dan dipilih, diantaranya kandidat harus memahami dan mengerti dengan terang permasalahan rakyat dan lingkungan hidup, memiliki semangat dan konsep kebijakan ekologi yang jelas dan rasional untuk lima tahun ke depan, memiliki praktik nyata dalam penyelamatan lingkungan hidup dan memperjuangkan taraf kehidupan rakyat, tidak memiliki pengalaman melakukan korupsi dan tidak sedang menjalankan proses pengadilan.

Tentunya indikator rekam jejak yang dikemukakan diperlukan, agar ke depan, daerah memiliki sosok pemimpin daerah yang benar dan terang memihak pada kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan hidup sejak awal. Tugas kemudian, rakyat harus menyusun dan mengajukan agenda politiknya untuk disepakati para kandidat yang maju. Komitmen dan agenda politik ekologi yang diajukan perlu dikawal secara konsisten karena akan menentukan kehidupan rakyat, nasib ruang dan ekologi lima tahun yang akan datang. 

Penulis. Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat Periode 2011-2015.
No Kontak 082116759688

Senin, 09 Juli 2012

Nasib Koridor Ekologi Jawa


        Nasib Koridor Ekologi Jawa 
Oleh Dadan Ramdan

         Munculnya Peraturan Presiden tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) 2011-2045 sebagai arahan strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan di Indonesia merupakan kebijakan pemerintah yang akan membawa dampak secara sosial budaya, ekonomi dan ekologi di Indonesia, tak terkecuali Jawa yang diposisikan sebagai pendorong industri dan jasa nasional.
             Ada tiga misi dalam MP3EI yang akan dijalankan. Pertama, peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) sumber daya alam, geografis wilayah, dan sumber daya manusia melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar-kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Kedua, mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional. Ketiga, mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-driven economy.
             Sekilas MP3EI memberikan angin segar, harapan baru dan menawarkan janji manis bagi kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi rakyat termasuk di pulau Jawa. Namun, jika kita periksa lebih, dalam dokumen MP3EI dari misi, strategi utama dan inisiatif strategis realisasi investasi skala besar dua puluh dua kegiatan ekonomi utama dengan mengedepankan eksploitasi sumber daya alam secara rakus dan didukung investasi asing akan membawa dampak buruk pada tatanan kehidupan rakyat baik secara ekonomi, sosial budaya dan ekologi.
        Tidak ada jaminan MP3EI bisa mencapai visi masyarakat Indonesia yang mandiri, maju adil dan makmur. Alih-alih kemajuan, keadilan, kemandirian dan kemakmuran, yang terjadi malah kemunduran, ketimpangan, ketergantungan dan kemiskinan yang di derita rakyat serta kerusakan ekologi Jawa. Karena, keuntungan ekonomi dipastikan akan mengalir deras mengisi pundi-pundi negara koloni dan investor asing yang berkuasa.
            Sebaliknya, melihat item dua puluh dua kegiatan ekonomi utama dan tema koridor ekonomi Jawa yang sedang dan akan dijalankan dalam tiga puluh lima tahun ke depan maka ancaman krisis ruang ekologi atau ekosistem Jawa semakin nyata dan terang benderang terjadi.   Pembangunan di pulau Jawa yang meliputi infratruktur jalan, pelabuhan, bandara, power dan energi, rel kereta api, utilitas air, industri manufaktur, telematika dan industri lainnya dengan total investasi mencapai sekitar Rp 1.786 Trilyun tentu akan membawa pengaruh pada konsumsi energi, air dan pangan, perubahan tata guna lahan, perubahan bentang alam, berkurangnya kawasan lindung, pada akhirnya akan berdampak pada berkurangnya daya dukung dan tampung lingkungan hidup bahkan tergusurnya miskin kota dan hilangnya tanah atau lahan para petani di perdesaan.
            Bahkan, nasib koridor ekologi jawa akan semakin memburuk oleh keluarnya Peraturan Presiden No 28 tahun 2012 tentang Tata Ruang Jawa Bali yang lebih mengedepankan pembangunan  infrastruktur fisik wilayah melalui pembangunan jalan dan sarana fisik lainnya di tengah dan selatan Jawa dan menegasikan pembangunan sosial dan koridor ekologi bagi utara, tengah dan selatan Jawa.    

Utara Jawa Makin Menderita
            Di belahan utara Jawa, praktik dan strategi pembangunan yang dilakukan masa kolonial Belanda dengan membangun infrastruktur fisik wilayah kemudian diteruskan oleh rezim pembangunan orde lama, orde baru hingga sekarang telah memberikan pengalaman dan pembelajaran bersama bahwa pola dan strategi pembangunan yang dilakukan tidak membawa dampak pada upaya peningkatan kualitas kehidupan dan kesejahtaraan masyarakat serta tatanan ekologi di belahan utara Jawa.
            Hari ini, kita bisa menyaksikan fenomena kemiskinan, kerusakan lingkungan, krisis air, pencemaran, banjir dan semakin kritisnya ruang ekologi, bencana dan malapetaka menimpa rakyat utara Jawa. Keberadaan MP3EI yang diperkuat dengan kebijakan  tata ruang Jawa Bali akan semakin memperkuat intervensi modal, berkurangnya aset dan akses rakyat atas sumber-sumber kehidupan, memperluas kerusakan ekologis, menambah derita rakyat dan mempercepat malapateka wilayah utara Jawa yang sedang sekarat.

Tengah dan Selatan Yang Terancam
            Di bagian tengah dan selatan Jawa ke depan akan bernasib sama seperti utara Jawa yang sekarat. Agenda koridor ekonomi yang dicanangkan pun memiliki daya rusak ekologis yang luar biasa. Proyek MP3EI di belahan tengah Jawa yang di posisikan sebagai sentra indutsri dan jasa nasional tentu akan menjadi ancaman bagi layanan ekologis perkotaan terutama di Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang hingga Surabaya.
            Ancaman ekologi terjadi di bagian selatan Jawa yang sudah tidak perawan lagi. Bagian selatan Jawa yang secara geografis berbukit dan bergunung merupakan infrastruktur alam yang memiliki fungsi lindung dan konservasi. Namun, kebijakan tata ruang Jawa akan menjadi faktor yang memicu alihfungsi kawasan dan perusakan ekologi melalui proyek pembangunan infrastruktur wilayah dan industri ekstraktif yang semakin menjamur.
            Ruang ekologi selatan Jawa yang melintas mulai Banten, Jabar Selatan, Kebumen, Kulon Progo, Blitar hingga Banyuwangi semakin terancam oleh proyek MP3EI dan program pembangunan fisik tata ruang Jawa Bali. Bisa dipastikan dalam sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan layanan alam dan daya dukung lingkungan untuk menopang kehidupan manusia Jawa akan makin berkurang.
            MP3EI dan Kebijakan Tata Ruang Jawa yang dikeluarkan pemerintah telah menjadi faktor yang determinan mempercepat laju perusakan ruang ekologis Jawa. Pulau Jawa berada di ambang tenggelam. Pemerintah memang tidak belajar dari pengalaman sebelumnya. Strategi dan model pembangunan dalam dokumen kebijakan MP3EI pun tidak berubah dan seperti tidak mau berubah.
            Model pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi yang mengakumulasi kapital dengan dukungan investasi asing dan utang telah terbukti gagal mewujudkan keadilan dan kemakmuran serta keberlanjutan layanan alam. Layak kita katakan bahwa MP3EI dikatakan sebagai Master Plan Pemiskinan dan Perusakan Ekologi Indonesia. 

Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat Periode 2011-2015.
Kontak 082116759688

Sabtu, 12 Mei 2012

Kajian dan Evaluasi Kritis LKPJ Gubernur Jawa Barat Tahun Anggaran 2011 Urusan Lingkungan Hidup di Jawa Barat [1] Oleh Dadan Ramdan[2]


 
Pengantar
            Catatan yang diberikan ini merupakan kajian kritis sederhana yang disusun oleh Walhi Jawa Barat untuk menyikapi Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Jawa Barat tahun anggaran 2011. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisa dokumen kebijakan perencanaan dan penganggaran yang tertuang dalam RTRW Propinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029, RPJMD Jawa Barat tahun 2008-2013 dan RKPD tahun 2011, wawancara dan diskusi dengan unsur BPLHD dan observasi lapangan untuk mengkonfirmasi program dan kegiatan yang dijalankan.
            Ruang lingkup penilaian didasarkan pada PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan propinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang difokuskan urusan lingkungan hidup dikerjakan oleh pemerintah propinsi Jawa Barat melalui OPD BPLHD, Dinas Kehutanan, dan Sekda Pemprop Jawa Barat.

Dasar Pijakan Penilaian Kinerja dalam LKPJ Gubernur Jawa Barat
Dasar pijakan penilaian kinerja dalam LKPJ sebagai berikut:
1.      RTRW Propinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029
-          Target 45 % Kawasan Lindung dari total luasan Jawa Barat
-          Kawasan Strategis Propinsi : KSP DAS Hulu Citarum, KSP Bandung Utara, KSP Bopuncur, KSP pesisir Pantura, KSP Pangandaran dan sekitarnya, KSP Sukabumi bagian selatan dans sekitarnya yang memiliki fungsi perlindungan dan pelestarian lingkungan.

2.      RPJMD Jawa Barat Tahun 2008-2013 : Indikator Kinerja Tahun 2011
            Berdasarkan indikator kinerja dalam dokumen RPJMD di tahun 2011 ada 21 item target pencapaian yang harus dipenuhi oleh pemerintah propinsi Jawa Barat dalam menjalankan  misi Meningkatkan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan untuk Pembangunan yang Berkelanjutan untuk urusan lingkungan hidup. 

3.      RKPD Tahun 2011 : Arah Kebijakan Tahun 2011
            Arah Kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan Peningkatan Kualitas Lingkungan dan Penanganan Bencana diarahkan pada :
(1) merehabilitasi lahan kritis secara massal, terutama di hulu DAS prioritas ;
(2) mewujudkan tata ruang untuk pembangunan berkelanjutan sebagai realisasi Jabar Green Province;
(3) meningkatkan kualitas mitigasi bencana dan penanggulangan korban bencana secara akurat;
(4) meningkatkan pengelolaan dan pemrosesan sampah terpadu regional.

4. Perda No No 23 Tahun 2010 tentang APBD tahun 2011         
 


Kriteria dan Indikator Penilaian Kinerja
Kriteria dan Indikator yang digunakan dalam penilaian diantaranya:
1.   Kesesuaian /konsistensi antara program dan kegiatan prioritas dengan Indikator Kinerja Tahun 2011 dalam RPJMD 2008-2013 dan arah kebijakan dalam dokumen RKPD Tahun 2011
2.      Konsistensi/kesesuaian program dan kegiatan dengan amanat/mandat RTRW Jawa Barat
3.  Penegakan hukum lingkungan hidup yang diamanatkan Undang-Undang No 32 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Sektor Lingkungan Hidup serta tugas dan wewenang pemerintah propinsi sesuai dengan pasal 63 UU No 32 Tahun 2009
4.      Proporsi alokasi anggaran untuk urusan lingkungan hidup
5.      Keterkaitan jenis kegiatan, keterlibatan partisipasi masyarakat dan masalah yang harus diselesaikan

Program dan Kegiatan Untuk Urusan Lingkungan Hidup di Jawa Barat
            Berdasarkan kajian yang dilakukan program dan kegiatan yang dilakukan untuk urusan lingkungan hidup yang dikerjakan oleh OPD BPLHD, Sekda, Dinas kehutanan tidak termasuk OPD BPBD  berjumlah 33 kegiatan dengan total realiasi anggaran yang digunakan sebesar Rp 31.534.248.980. Perincian Kegiatan dan anggaran masing-masing OPD sebagai berikut
1.      BPLHD : 17 Kegiatan, jumlah anggaran sekitar Rp 6,4 Milyar
2.      Sekda  : 4 kegiatan, jumlah anggaran sekitar Rp 390, 5 Juta
3.      Dinas Kehutanan ; 12 Kegiatan, jumlah anggaran sekitar Rp 24, 5 Milyar

Fakta-Fakta Masalah yang Ditemukan
Berdasarkan laporan dan fakta dilapangan, selama tahun 2011 ditemukan beragam masalah diantaranya:
1.  Maraknya pembangunan untuk kepentingan komersil (hotel, villa, dan lain-lain) di Kawasan Bandung Utara ( Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung dan Bandung Barat), berdasarkan laporan BPLHD ada sekitar 300 pengembang/perusahaan yang mengajukan ijin usaha dan pengembangan di KBU
2.      Pencemaran limbah industri di 7 DAS prioritas yang menandakan lemahnya pengawasan
3.      Pembangunan villa dan hotel di wilayah KSP Bopuncur (Bogor, Puncak dan Cianjur)
4.   Belum berhentinya aktivitas pertambangan pasir besi di Jabar Selatan (Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasik Malaya).
5.      Penanganan sampah masih mengandalkan TPA sehingga masih menimbulkan masalah
6.      Masih lemahnya pengawasan terhadap para pengusaha dan pengembang yang merusak lingkungan
7.      Kriminalisasi oleh perusahaan atau pengembang terhadap masyarakat yang memperjuangkan lingkungan sehat dan bersih
8.   Pengawasan yang lemah terhadap penggunaan dan pengelolaan limbah batubara yang dilakukan oleh pengusaha industri tekstil
9.  Kurangnya tenaga PPNS di BPLHD yang menjalankan fungsi penegakan hukum lingkungan, hanya sekitar 4 orang, padahal kasus sangat banyak muncul
10.  Konflik penggunaan, pemanfaatan dan pengusahaan air permukaan antara petani dan perusahaan Jasa Tirta (Kasus Citarum)
11.  Alih fungsi kawasan di Kawasan Strategis Propinsi yang memiliki fungsi lindung dan pelestarian alam oleh beragam pembangunan jalan tol, industri, pertambangan pasir, pemukiman dll
12.  Alih fungsi kawasan karst di Bandung Barat menjadi kawasan tambang
13. Upaya pengurangan resiko bencana yang belum terumuskan, serta penanganan kasus-kasus kebencanaan yang belum tuntas di Ciamis, Garut, Bandung Selatan dll
14.  Lambatnya respon pemerintah dalam menanggapi laporan2 pengaduan masyarakat
Daftar dan Jenis Kegiatan Urusan Lingkungan Hidup Tahun 2011
Berdasarkan dokumen LKPJ, kegiatan dan besaran realisasi anggaran yang dibelanjakans sebagai berikut :
No
Kegiatan
Leading Sektor  / Tempat
Hasil
Realisasi Belanja (Rp)  
1
Kegiatan Pengembangan Rencana Aksi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Melalui Pengelolaan Limbah dan Sampah Energi, Transportasi dan Hutan
BPLHD
Tersedianya sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Pedoman pengurangan Emiisi Gas Rumah kaca serta terselanggaranya inventarisasi Gas rumah kaca dalam rangka pelaporan Emisi Gas RC
                 286.045.000
2
Kegiatan pemantawauan pencemaran Lingkungan
BPLHD di Cilamaya, Citarum, Cimanuk dan Cileungsi
Terpantaunya kualitas Udara ambien di 10 Kabupaten/Kota dan terlaksananya koordinasi sinergitas pemantauuan udara di jawa barat dan terpetakannya potensu beban pencemaran Air di 4 Das
                 470.866.000
3
Kegiatan fasilitas pengelolaan Limbah padat bahan berbahaya dan beracun (B3), dan medis di Jawa Barat
BPLHD di Cekungan Bandung
tersusunnya sistem pelaporan pengelolaan limbah B3 dan medis
                 274.850.000
4
Kegiatan fasilitas penyelesaian kasus pencemaran dan perusakan lingkungan
BPLHD di Jabar dan Rancaekek
terlaksananya pengawasan ketaatan industri terhadap sanksi ADR, pidana lingkungan, terlaksananya koordinasi dan singkronisasi penegakan hukum lingkungan terpada, adanya penanganan pengaduan kasus pencemaran atau perusakan lingkungan sebanyak 21 kasus
              1.008.905.000
5
Pengembangan sistem pengelolaan lingkungan untuk menndukung produksi bersih dan pengenbangan produksi bersih ( PHKI)
BPLHD
Kajian penilaian manajemen lingkungan dan identifikasi peluang penerapan produksi bersih, terlaksananya workshop produksi bersih, tersosialisasinya pengembangan produksi bersih dan trlaksananya pemberian penghargaan terhadap 2 prusahaan
                 629.274.000
6
Pengawasan dan pembinaan pengendalian pencemaran melalui program Environment pollution controol manager dan peningkatan sumber daya manusia
BPLHD
Terimplementasikannya program EPCM udara melalui pelaksanaan pelatihan, uji EPCM udara dan sosialisasi program EPCM udara kepada kabupaten / kota, dan workshop bagi masyarakat dan aparat penegak hukum
                 278.790.000
7
Penyelarasan dan evaluasi lingkungan hidup strategis
BPLHD
Tersedianya data dan laporan hasil inventarisasi wilayah Ekoregion provinsi Jabar, sebagai bahan proses pengambilan keputusan dan kebijakan pengelolaan Lingkungan Hidup
                 290.100.000
8
Fasilitas dan Pembinaan Tekhnis AMDAL dan tekhnologi Lingklungan
BPLHD
Operasionalisasi Komisi AMDAL daerah provinsi Jabar, Terlaksananya Raker komisi AMMDAL Kabupaten/Kota, Terlaksanya sosialisasi Lingkunggan Kluster usha kecil dan menengah di jabar
                 495.860.000
9
Pengembangan kapasitas dan kemitraan Lingkungan
BPLHD
Fasiilitas program Adiipura dan Adiwiyata di jabar, pelaksanaan sekolah berbudaya Lingkungan dan pelaksanaan Kampaye Lingkungan BALADKURING
                 495.860.000
10
Laboratorium Lingkungan dalam rangka peningkatan pengawasan Lingkungan di Jabar
BPLHD
Tersedianya informasi Laboratoriim Lingkungan, terbinanya dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia Laboratorium Lingkungan
                 166.777.400
11
Penyusunan status lingkungan
BPLHD
Tersediannya buku status Lingkungan Hidup Daerah ( SLHD), Tersedianya buku ASER dan tersusunnya laporan SLHD
                 285.803.000
12
Pengembangan sistem informasi Lingkungan
BPLHD
Tersususnnya sistem pemetaan informasi Lingkungan Hidup dan terselenggaranya workshop pengembangan sistem informasi Lingkungan Hidup
                 125.458.600
13
Peningkatan pemahaman Siswa sekolah terhadap dampak Rokok
BPLHD
Tersosialisasikannya dampak Rokok bagi anak sekolah
                 199.750.000
14
Green Festival
BPLHD
Terfasilitasinya penyediaan venue Green Festival, terfasilitasinya Talkshow perlindungan dan Pengelolaan DAS Citarum, terfasilitasinya parad Daur Ulang, pengelolaan kesenian dan penghargaan Lingkungan Hidup
                 486.900.000
15
Identifikasi dan pencemaran Lahan tercemar di 4 Desa Kecamatan Rancaekek Kab.Bandung
BPLHD
Tersedianya Data dan status kepemilikan lahan tercemar, data hasil analisa Laboratorium terhadap Air dan Tanah dan Peta dampak pencemaran
                 291.800.000
16
Fasilitasi dan sosialisasi pembangunan Lingkungan Hidup
SETDA Pemprov
Adanya kesadaran dari masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan terciptanya komitment masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup
                    92.493.250
17
Fasilitas Eco-Pontren Jabar
SETDA Pemprov
Terbentuknya tokoh pesantren dan Santri pondok pesantren menjadi kader Lingkungan
                 148.256.000
18
Singkronisasi Bidang Pembinaan Lingkungan sosial Dana bagi Hasil Cukai hasil Tmbakau
SETDA Pemprov
Implementasi  PMK No.84/PMK.07/2008 dan PMK No,20/2009 OPD Provinsi
                 149.976.000
19
Fasilitasi Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengelolaan keanekaragaman hayati di Jabar
BPLHD
Tersusunnya Draf Model Kampung Konservasi di Desa Sunteng Jaya Kec Lembang Kabupaten Bandung Barat, tersdiannya alat lubang Biopori, instalasi biogas, composter dan gully plug
                 320.040.000
20
Pembinaan Pengembangan Sumber Daya Hutan dan Ekosistemnya
DISHUT
Terbinya masyakat di Dalam dan sekitar Hutan Taman Nasional Gunung Pangrango Kabupaten Cianjur sebanyak 60 Orang, terbina dan terawasinya model desa konsrvasi di dua kampung dan tiga desa konsrvasi
                 386.121.975
21
Rehabilitasi dan Konservasi Hulu Das Citarum
DISHUT
Terbangunnya persemaian sebanyak 2 unit, terbangunnya Agroforestry di Hulu DAS Citarum dan terbangunnya Hutan Rakyat seluas 50 Ha
              5.209.058.625
22
Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis
DISHUT
Tersedianya data loaksi persemaian dalam rangka GRLK tahun 2011 di 11 Kabupaten, tersedianya data loaksi GRLK di 17 Kabupaten, tersusunnya rencana tekhnis pembuatan persemaian dalam rangka GRLK
           12.092.606.675
23
Fasilitas Pengembangan Model Pengeloalan lahhan kRitis DAS bagian Hulu berbasis masyarakat
SETDA Pemprov
Tersediannya Data dan Informasi dan Pedoman mengenai model pengelolaan lahan kritis DAS bagian Hulu berbasis masyarakat
                 249.928.000
24
Model Peningkatan upaya Mitigasi dan Adaptasi perubahan iklim
BPLHD
Tersedianya dokumen Model Desa Adaptasi perubahan iklim berbasis masyaraklat
                 249.060.000
25
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
DISHUT
Terehabilitasinya hutan Mangrove pola intensif seluas 100 Ha di Kabupaten Subang, Indramayu, dan Karawang
                 850.222.750
26
Rehabilitasi Hulu DAS Cimanuk, Ciliwung dan Citanduy
DISHUT
Tersusunnya rancangan Tekhnis pembanguna Persemaian, terbangunnya persemaian di Kabupaten Garut, B ogor, Majalengka, Ciamis dan Tasikmalaya
              2.890.981.475
27
Pemantapan Kawasan Hutan
DISHUT
Tersedianya Peta Penyebaran Lahan tidak berhutan pada kawasan Lindung di 20 Kabupaten/Kota dan tersediannya peta hasil Reposisi pada 30 kelompok Hutan
                 462.190.000
28
Peningkatan Luas Lahan berfungsi Lindung
DISHUT
Identifikasi kawasan perlindungan setempat di Hutan produksi dii 13 KPH serta tersedianya laporann hasil identivikasi kawasan prlindungan setempat di hutan produksi
                 401.095.000
29
Pengendalian dan Penanganan Hutan Jabar
DISHUT
Terfasilitasnya dan Terbinanya Kelompok Satlakdalkarhut sebanyak 80 Orang, tersosialisasinya penangana hutan kepada Masyarakat  penggarap lahan kawasan kepada 160 Orang dan terfasiliatasinya penyelaesaian perambahan di akwasan Konservasi TWA gunungg Pancar sebanyak 30 oRang
                 398.475.000
30
Peningkatan pengelolaan Taman Hutan Raya Ir.H Djuanda
DISHUT
terpeliharanya Tanaman
                 600.300.000
31
Pengembangan Kemitraan sekitar kawasan Hutan Lindung
DISHUT
terbinanya SDM PKSM Sebanyak 40 Orang
                 297.125.000
32
Fasilitasi dan Koordinasi Pembangunan Kehutanan
DISHUT
tersedianya bahan penyusunan rencana pembangunan kehutanan tahun 2012, terlaksananya rakorenbang kehutanan tahun 2011 dan terpantaunya pelaksanan program kehutanan
 387.390.000
33
Rehabilitasi Lahan Kritis Di Kawasan Taman Hutan Raya Juanda
DISHUT
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kawasan Taman Hutan Raya Ir. H djuanda ( DAK ), Hasilnya, Bervegetasi dan jenis tanaman di Tahura Ir H Juandaseluan 100 Ha dan Tersedianaya banguna Konsrvasi untuk mengurangi dan mengantisipasi erosi tanah
                 561.926.230

Total Realisasi Belanja
31.534.284.980

Hasil Kajian Subtansi LKPJ Gubernur Tahun Anggaran 2011
Hasil kajian yang dilakukan sebagai berikut :
No
Indikator Penilaian
Deskripsi Penilaian
1
Kesesuaian /konsistensi antara program dan kegiatan prioritas dengan arah kebijakan dalam Indikator Kinerja Tahun 2011 dalam RPJMD 2008-2013 dan dokumen RKPD Tahun 2011
-     Jika merujuk RKPD tahun 2011, program dan kegiatan memang sejalan dengan arah kebijakan yang dijalankan
-     Namun, di tahun 2011 berdasarkan dokumen RPJMD,seharusnya rehabilitasi lahan kritis mencapai 60.000 ha, faktanya program rehabilitasi lahan kritis yang dilakukan secara massal hanya mencapai sekitar 2000 Ha, sangat jauh dari target capaian dalam indikator capaian RPJMD
-     Banyak kegiatan yang dilakukan tidak sesuai dengan item targetan dalam indkator RPJMD terutama yang dijalankan oleh SEKDA Biro Lingkungan hidup
-     Kegiatan yang dilakukan lebih banyak menjalankan fungsi fasilitasi dan dokumentasi bukan langsung menohok pada penyelesaian masalah
-     Tidak terlihat upaya rehabilitasi lahan kritis di 7 DAS Prioritas di Jawa Barat.
2
Konsistensi/kesesuaian program dan kegiatan dengan amanat/mandat RTRW Jawa Barat
-     Program dan kegiatan yang dijalankan tidak sepenuhnya menjalankan mandat RTRW Propinsi Jawa Barat terutama dalam melindungi dan mengelola lingkungan di Kawasan Strategis Propinsi (KSP) yang memiliki fungsi lindung dan lintas wilayah Kabupaten/kota
-     Lemahnya pengendalian dan pengawasan ruang pada beberapa kasus lintas kabupaten/kota seperti kasus di KBU, Jabar Selatan, Bopuncur, Pesisir dll
-     Dengan 12 Perda RTRW kabupaten/Kota yang direvisi sesuai dengan RTRW Kabupaten Kota, artinya ada 14 Kabupaten/kota yang belum melakukan revisi.
3
Penegakan hukum lingkungan hidup yang diamanatkan Undang-Undang No 32 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Sektor Lingkungan Hidup serta tugas dan wewenang pemerintah propinsi sesuai dengan pasal 63 UU No 32 Tahun 2009
-     Pemerintah propinsi belum sepenuhnya menjalankan mandat pasal 63 UU No 32 tentang PPLH misalnya penyusunan kebijakan Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Hidup tingkat propinsi (RPPLH), KLHS, Pengakuan masyarakat adat dalam mengelola lingkungan hidup, instrumen lingkungan hidup dll.
4
Realisasi dan proporsi alokasi anggaran untuk urusan lingkungan hidup dan solusi yang dihasilkan
-   Realiasi anggaran urusan LH tidak mencapai 1, 32% yang ditetapkan dalam proporsi indikatif belanja  RKPD tahun 2011 :
-   Sedangkan berdasarkan APBD tahun 2011, Prosentasi realisasi belanja urusan lingkungan hidup dari Total Belanja Daerah hanya sekitar  0,321%, Prosentasi  belanja urusan lingkungan hidup dari Total Belanja Tidak Langsung 0,4321%, prosentasi realiasi belanja urusan lingkungan hidup dari Belanja Langsung untuk publik 1, 25% artinya masih di bawah target 1,32%.  
-   Anggaran belanja yang dialokasikan lebih banyak digunakan untuk belanja-belanja fasilitasi, dokumentasi, pengumpulan data2 dll misalnya gerakan rehabilitasi lahan kritis outputnya hanya tersedianya data lokasi persemaian yang dilakukan oleh Dishut.
-   Besaran alokasi anggaran Rp 31,5 M yang dibelanjakan dengan 33 kegiatan yang dilakukan di tahun 2011 tidak sepadan solusi yang dihasilkan, kondisi lingkungan hidup tidak mengalami perbaikan.
-   Penting melakukan verifikasi mendalam terhadap program dan kegiatan yang dilakukan dilokasi2 penerima manfaat program dan kegiatan.
-   Disisi lain, ada beberapa kegiatan rutin BPLHD yang tidak terlaporkan dalam dokumen LKPJ.
5
Keterlibatan partisipasi masyarakat dan penerima manfaat program dan kegiatan  

-     Pelibatan masyarakat sebagai penerima manfaat program dan kegiatan LH masih sangat minim tidak sepadan dengan alokasi anggaran yang dibelanjakan, anggaran besar tapi penerima manfaatnya sangat kecil. Misalnya anggaran Dishut untuk kegiatan pengembangan kemitraan sekitar kawasan lindung sebesar Rp 297.125. 000 hanya melibatkan sekitar 40 Orang PKSM.
-     Melihat jenis kegiatan yang dilakukan maka anggaran banyak dinikmati oleh pejabat di OPD yang bersangkutan.

Kesimpulan
Dari kajian di atas WALHI Jawa Barat menyimpulkan bahwa:
1.      Program dan kegiatan untuk urusan lingkungan hidup tahun anggaran 2011 yang diselenggarakan oleh OPD BPLHD, Sekda dan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat tidak sepenuhnya sesuai dan konsisten mengacu pada dokumen perencanaan yang sudah dilegalkan.
2.      Tingkat realiasi anggaran belanja sektor Lingkungan Hidup hanya 0,32% dari total belanja daerah
3.      Perlu verifikasi mendalam untuk memeriksa kebenaran data-data yang tertuang dalam LKPJ di lapangan
4.      WALHI Jawa Barat tidak melihat implementasi program rehabilitasi lahan kritis secara massal dilakukan di 7 DAS prioritas di Jawa Barat
5.      Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup masih rendah
6.      Anggaran yang digunakan tidak sepadan dengan solusi dan partisipasi masyarakat yang dilibatkan dalam pengelolaan dan perlindungan LH
7.      Peran propinsi masih lemah dalam memacu kabupaten/kota dalam mengelola dan melindungi lingkungan hidup.

Rekomendasi
            Berdasarkan kajian tadi maka WALHI Jawa Barat menilai Bahwa “Gubernur Jawa Barat Gagal Menjalankan Mandat dan Kendalikan Alih Fungsi Ruang dan Kerusakan Lingkungan Hidup di Jawa Bara”. Sehingga WALHI Jawa Barat merekomendasikan:
1.  DPRD Jawa Barat perlu mendesak propinsi Jawa Barat perlu memastikan semua kabupaten/kota melakukan revisi RTRW untuk mencapai 45% Kawasan Lindung.
2.   Alokasi anggaran belanja seharusnya dijalankan untuk memecahkan masalah Lingkungan Hidup yang terjadi bukan menjalankan agenda rutinitas birokrasi di internal eksekutif.
3.   Mendesak dirumuskannya kebijakan RPPLH dan KLHS Propinsi Jawa Barat dan mandat-mandat dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang PPLH.
4.   Perumusan kebijakan dan pengawasan serta perumusan program yang lebih tegas untuk perlindungan lingkungan hidup di Kawasan-Kawasan Strategis Propinsi (KSP) di Jawa Barat.
5.      Mendesak pemerintahan propinsi Jawa Barat melakukan pengawasan dan penegakan hukum lingkungan sebagaimana amanat Undang-Undang No 32 Tahun 2009
6.      Mendesak DPRD memastikan Gubernur Jawa Barat lebih responsif terhadap segala macam pengaduan kasus ruang dan LH di Jawa Barat.
 


[1] Disampaikan Dalam Rapat Pembahasan LKPJ Gubernur Jawa Barat TA 2011 yang diselenggarakan oleh Pansus LKPJ Gubernur DPRD Jawa Barat, Rabu, 9 Mei  2012
[2] Direktur WALHI Jawa Barat Periode 2011-2015