Menakar Agenda Green Economy Untuk Indonesia yang Lebih
Baik
Pembangunan
ekonomi dewasa ini telah memposisikan lingkungan sebagai sumber utama untuk
meningkatkan basis produksi. Konsumsi
energi yang luar biasa borosnya dari AS guna menjaga
industri tetap “ngebul” mengakibatkan dunia saat
ini mengalami krisis energi, terutama krisis energi minyak bumi yang luar biasa. Naiknya harga minyak dunia dalam tahun 2008-2009 telah memincu
krisis lain diberbagai sektor. Fakta nyata yang dihadapi saat ini adalah
mengakibatkan meningkatnya suhu bumi dan anomali
cuaca. Kondisi ini telah memaksa sebagian rakyat di bumi ini khususnya di
negara kaya sumber daya namun miskin secara ekonomi social untuk menanggung
risiko ini.
Di tengah kebutuhan energi fosil yang
rakus saat ini, dunia dihadapkan pada satu kenyataan bahwa cadangan minyak
dunia yang berbahan fosil dan tidak terbarukan akan terus menyusut untuk
duapuluhtahun kedepan. Diperkirakan cadangan minyak
bumi yang terkandung di wilayah Timur Tengah dan Kawasan Teluk, yang merupakan
wilayah penghasil minyak bumi terbesar dunia saat ini, akan mulai habis dalam
waktu 20 tahun mendatang.[2]
Itu artinya, bisa dipastikan bahwa negara Industri pimpinan Amerika akan mencari pengganti energi berbahan fosil dengan
bahan bakar alternatif, guna mengantisipasi krisis energi yang dahsyat ini.
Guna mengatasi krisis energi atau krisis bahan bakar minyak
bumi tersebut, dewasa ini telah dikembangkan energi berbahan bakar nabati.
Penggunaan energi berbahan bakar nabati ini telah menjadi kebijakan energi dari
sejumlah negeri Industri utama seperti AS, kawasan Uni Eropa, Jepang, dan Brazil[3].
Kebijakan untuk menggunakan energi berbahan bakar nabati dewasa ini diikuti
secara serentak oleh berbagai negeri jajahan, setengah jajahan dan negeri
bergantung lainnya, karena kebijakan penggunaan energi nabati tersebut menjadi
prasyarat-prasyarat baru bagi bantuan pembangunan (utang, hibah, dan proyek)
dari lembaga-lembaga kreditor multilateral seperti Bank Dunia dan ADB (Asian
Development Bank/Bank Pembangunan Asia). Catatan menunjukkan bahwa Amerika
Serikat adalah konsumen energi nabati terbesar, terutama bioetanol, dengan
pasokan bioetanol dari Brazil yang diolah dari komoditas pangan tebu. Sementara
Uni Eropa adalah konsumen terbesar biodiesel (bio solar) terbesar dengan
pasokan bahan baku komoditas pertanian kelapa sawit dari Indonesia dan
Malaysia.
Penggunaan bahan bakar nabati, telah dikampanyekan oleh negeri-negeri industri yang menandatangani Protokol Kyoto (berlaku sampai
dengan tahun 2012), sebagai sumbangan negeri-negeri industri terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca (terutama
emisi karbon). Karena menurut Protokol Kyoto, hanya negeri-negeri annex-1 yang mayoritas terletak di belahan bumi bagian Utara,
yang diberikan target spesifik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Jadi,
klaim dari negeri-negeri belahan bumi Utara ini adalah mereka telah mengurangi
emisi gas rumah kaca, yang diwajibkan oleh Protokol Kyoto dengan target
spesifik pada masing-masing negeri ini, melalui penggantian penggunaan bahan
bakar minyak bumi dengan penggunaan bahan bakar nabati (agrofuel).[4]
Bahan baku untuk produksi energi nabati, umumnya diproduksi di tanah-tanah
di belahan bumi bagian Selatan, kecuali untuk kedelai (produsen terbesarnya
Amerika Serikat dan Brazil) dan gandum (tanaman sub-tropis dan belahan bumi
Utara). Di dalam Protokol Kyoto, negeri-negeri di belahan bumi bagian Selatan,
yang umumnya merupakan negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung,
tidak dibebani kewajiban target spesifik untuk menurunkan emisi karbonnya.
Oleh karenanya, meskipun terjadi emisi karbon yang luar biasa sebagai
akibat perluasan perkebunan biodiesel (terutama kelapa sawit) dan perkebunan
bioetanol (terutama tebu), melalui pembukaan hutan primer, hutan produksi dan
hutan konversi yang kemudian mengakibatkan penggundulan dan perusakan hutan
(deforestasi) dan pembakaran hutan, di wilayah bumi bagian Selatan, hal ini
menurut Protokol Kyoto, tidak merupakan persoalan pokok, karena negeri-negeri
ini sesungguhnya tidak dibebani kewajiban menurunkan emisi karbonnya. Dengan demikian, negeri-negeri industri tetap dapat menjaga pertumbuhan industrinya melalui
tingkat konsumsi energi yang sama, dengan beralih menggunakan bahan bakar
nabati yang bahan bakunya diproduksi di tanah-tanah perkebunan dan pertanian di
Negara
berkembang dan miskin.
Green
Economy, Modernisasi Ekologis
Solusi
global sejak tigapuluh tahun terakhir seakan tidak menjawab persoalan krisis
lingkungan global hingga saat ini. Upaya moderinisasi ekologi tersebut
dilakukan di wilayah structural maupun non structural. Clean Development
Mecanism atau biasa dikenal dengan CDM, dengan berbagai variannya, seperti
Payment Enviroment Services (PES). Perubahan iklim global yang terus meningkat
memaksa seluruh bangsa untuk menurunkan emisi rumah kaca melalui mekanisme
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Skema
pembangunan ekonomi Indonesia juga berusaha merubah paradigm pembangunan yang
ekstratif , ekslpoitatif dan berjangka pendek. Kebijakan nasional pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan dengan semboyan “pro growth, pro job, pro
poor”. Bisa dipahami sebagai upaya
perbaikan kondisi lingkungan , “Green Economy” menjadi salah satu bagiannya.
Kenyataan
ini sangat disadari dimana model pembangunan ekonomi yang dikembangkan telah menggerakkan
pembangunan ekonomi yang cenderung ekstraktif dan berjangka pendek. Tanpa
menafikan adanya perbaikan kualitas sumber daya dan lingkungan, namun secara
umum dapat dikatakan bahwa upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan
pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.
Sementara itu, sinyal indikator pertumbuhan ekonomi seperti Produk Domestik
Bruto/Produk Domestik Regional Bruto (PDB/PDRB), dan tingkat inflasi tidak
diiringi dengan informasi tentang nilai susutnya sumber daya alam (deplesi) dan
rusaknya serta tercemarnya lingkungan (degradasi).
Bercermin
pada kondisi Indonesia saat ini, maka pendekatan Ekonomi Hijau (Green economy
approach) dapat diartikan sebagai suatu model pendekatan pembangunan ekonomi
yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber
daya alam dan lingkungan yang berlebihan. Ekonomi hijau merupakan suatu
lompatan besar meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan
keuntungan jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan yang
mendesak untuk ditangani termasuk menggerakkan perekonomian yang rendah karbon
(low carbon economy).
Konsep
ekonomi hijau meliputi cakupan yang luas dan merupakan paradigms baru dalam
pembangunan ekonomi guns menggantikan kebijakan-kebijakan lingkungan yang pada
masa lalu kerap difokuskan pada solusi jangka pendek. Pendekatan ekonomi hijau
merupakan win-win solution dalam mengakhiri perdebatan para penentu kebijakan
yang tidak ads habis-habisnya seputar "pelestarian lingkungan" dan
"pertumbuhan ekonomi". Atau dengan kata lain, Ekonomi Hijau adalah
model pembangunan ekonomi berbasiskan pengetahuan terhadap ecological economic
dan green economic yang bertujuan untuk menjawab saling ketergantungan antara
ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi termasuk
perubahan iklim dan pamanasan global.
Dilevel
praksis, tentu pemikiran ekonomi hijau dan modernisasi ekologi terus dsemakin
populer. Kini semakin banyak perusahaan yang berusaha menggunakan teknologi
ramah lingkungan. Teknologi asap cair menjadi salah satu solusi minimisasi
limbah. Instrumen amdal jadi pengendali dampak lingkungan. Kampanye jalur bebas
mobil pada hari-hari tertentu, serta mengatur suhu sedang untuk pendingin
ruangan adalah upaya kultural dari modernisasi ekologi.
Keadilan
ekologis, Jalan baru Pembangunan Ekonomi Indonesia
Seperti
yang sudah disampaikan di atas, bahwa persoalan lingkungan dan ekonomi saling
bertentangan. Hal ini dikarenakan karakteristik pembangunan ekonomi yang sangat
rakus, monopolistik, dan berorientasi pada ekstraksi sumberdaya alam.
Didalamnya juga mengandung dominasi politik ekonomi Negara Utara terhadap
Negara Selatan seperti Indonesia. Politik ekonomi yang miskin distribusi.
Regulasi yang tidak menunjukan ketidakadilan dalam perbangunan global. Adalah
sedikit banyaknya persoalan dasar dalam upaya perbaikan pembangunan ekonomi
yang lebih hijau, bersih dan menguntungkan.
Berbagai
gagasan yang menjadi mainstreaming global dan perubahan prilaku ekonomi
pembangunan masih didominasi oleh Negara Utara. Sehingga mudah terlihat jelas
mengabaikan kepentingan Negara Berkembang ( Selatan ).
Pendekatan
Modernisasi ekologi ini dapat dikatakan melupakan konflik kepentingan antar aktor,
yakni antara industri yang satu dan industri lain, industri dengan masyarakat,
negara dengan masyarakat, serta antara negara maju dan berkembang. Relasi
kekuasaan yang tidak seimbang antara keduanya akan menimbulkan dominasi satu
atas lainnya dan berujung pada marginalisasi pihak yang lemah.
Modernisasi
ekologi jarang memerhatikan pertanyaan siapa yang diuntungkan dan siapa yang
dirugikan. Jarang dipikirkan bagaimana dampak ekolabeling terhadap perikanan
rakyat. Jarang dipikirkan pula dampak kawasan konservasi hutan dan laut terhadap
masyarakat sekitarnya. Begitu pula pada level global, dampak perdagangan karbon
terhadap dunia ketiga dan lingkungan global. Konflik-konflik kepentingan itu
membutuhkan solusi yang adil. Tanpa itu maka semua gagasan yang lahir untuk
memperbaiki ekologis global tidak akan pernah selesai. Oleh karena itu, konsep
keadilan ekologis perlu segera dikembangkan dan menjadi mainstreaming dalam
setiap kebijakan ekonomi pembangunan global.
Menurut
Flitner (2009), ada dua macam keadilan ekologis. Pertama, keadilan distributif
yang menekankan pentingnya akses masyarakat pada benefit atas pemanfaatan
sumber daya. Banyaknya konflik nelayan dengan pengelola kawasan konservasi
merupakan akibat dari terusiknya keadilan distributif ini.
Kedua,
keadilan pengakuan yang menekankan pada pentingnya pengakuan terhadap
eksistensi keragaman cara masyarakat mengelola alam. Tipe keadilan ini
diturunkan dari asumsi bahwa alam adalah hasil konstruksi sosial. Sejarah,
pengalaman, dan budaya akan membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam,
yang mungkin berbeda dengan pandangan para ahli.
Masyarakat
memiliki cara sendiri bagaimana beradaptasi dan mengelola sumber daya alam yang
bisa jadi lebih efektif. Namun, sering kali mereka diabaikan sehingga menjadi
tamu di wilayahnya sendiri.
Ketidakadilan
ekologis terjadi karena ada monopoli cara pandang terhadap alam, yaitu cara
pandang positivistik berbasis sains dianggap paling obyektif, benar dan
universal, meski kadang kurang efektif. Ini berimplikasi pada menguatnya
pendekatan teknokratik dalam mengelola alam. Padahal, di luar sains, ada sistem
pengetahuan lain di masyarakat yang juga akurat melihat fenomena alam. Low dan
Gleeson (1998), ”sustainable development without environmental justice is an
empty formula”.Kontradiksi ini bisa diakhiri dengan mendorong kolaborasi sains
dan pengetahuan lokal.Modernisasi ekologi dan keadilan ekologis bukan saling
meniadakan. Modernisasi ekologi penting, tetapi lebih penting lagi bila
diiringi keadilan ekologis.
[2] Lihat laporan GRAIN tentang perampasan tanah dan krisis
pangan, “Seized! The 2008 landgrab for food and financial security,” Oktober
2008. http://www.grain.org/go/landgrab
[3] Di AS sendiri, kebijakan untuk mengunakan energi berbahan
bakar nabati (agrofuel) telah mulai diperkenalkan sejak tahun 1973, saat
terjadinya krisis minyak, saat negeri-negeri Arab menghentikan pasokan
minyaknya ke AS.
[4] Lihat artikel Almuth Ernsting, “Agrofuels in Asia:
Fuelling poverty, conflict, deforestation and climate change,” dalam buletin Seedling,
Juli 2007, hal. 25- 33.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar