Minggu, 24 Februari 2013

Menakar Agenda Ekonomi Hijau Untuk Indonesia yang Lebih Baik



Menakar Agenda Green Economy Untuk Indonesia yang Lebih Baik

Oleh Dadan Ramdan[1]

Pembangunan ekonomi dewasa ini telah memposisikan lingkungan sebagai sumber utama untuk meningkatkan basis produksi. Konsumsi energi yang luar biasa borosnya dari AS guna menjaga industri tetap “ngebul” mengakibatkan dunia saat ini mengalami krisis energi, terutama krisis energi minyak bumi yang luar biasa. Naiknya harga minyak dunia dalam tahun 2008-2009 telah memincu krisis lain diberbagai sektor. Fakta nyata yang dihadapi saat ini adalah mengakibatkan meningkatnya suhu bumi dan anomali cuaca. Kondisi ini telah memaksa sebagian rakyat di bumi ini khususnya di negara kaya sumber daya namun miskin secara ekonomi social untuk menanggung risiko ini.
Di tengah kebutuhan energi fosil yang rakus saat ini, dunia dihadapkan pada satu kenyataan bahwa cadangan minyak dunia yang berbahan fosil dan tidak terbarukan akan terus menyusut untuk duapuluhtahun kedepan. Diperkirakan cadangan minyak bumi yang terkandung di wilayah Timur Tengah dan Kawasan Teluk, yang merupakan wilayah penghasil minyak bumi terbesar dunia saat ini, akan mulai habis dalam waktu 20 tahun mendatang.[2] Itu artinya, bisa dipastikan bahwa negara Industri pimpinan Amerika akan mencari pengganti energi berbahan fosil dengan bahan bakar alternatif, guna mengantisipasi krisis energi yang dahsyat ini.
Guna mengatasi krisis energi atau krisis bahan bakar minyak bumi tersebut, dewasa ini telah dikembangkan energi berbahan bakar nabati. Penggunaan energi berbahan bakar nabati ini telah menjadi kebijakan energi dari sejumlah negeri Industri utama seperti AS, kawasan Uni Eropa, Jepang, dan Brazil[3]. Kebijakan untuk menggunakan energi berbahan bakar nabati dewasa ini diikuti secara serentak oleh berbagai negeri jajahan, setengah jajahan dan negeri bergantung lainnya, karena kebijakan penggunaan energi nabati tersebut menjadi prasyarat-prasyarat baru bagi bantuan pembangunan (utang, hibah, dan proyek) dari lembaga-lembaga kreditor multilateral seperti Bank Dunia dan ADB (Asian Development Bank/Bank Pembangunan Asia). Catatan menunjukkan bahwa Amerika Serikat adalah konsumen energi nabati terbesar, terutama bioetanol, dengan pasokan bioetanol dari Brazil yang diolah dari komoditas pangan tebu. Sementara Uni Eropa adalah konsumen terbesar biodiesel (bio solar) terbesar dengan pasokan bahan baku komoditas pertanian kelapa sawit dari Indonesia dan Malaysia.
Penggunaan bahan bakar nabati, telah dikampanyekan oleh negeri-negeri industri yang menandatangani Protokol Kyoto (berlaku sampai dengan tahun 2012), sebagai sumbangan negeri-negeri industri terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca (terutama emisi karbon). Karena menurut Protokol Kyoto, hanya negeri-negeri annex-1 yang mayoritas terletak di belahan bumi bagian Utara, yang diberikan target spesifik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Jadi, klaim dari negeri-negeri belahan bumi Utara ini adalah mereka telah mengurangi emisi gas rumah kaca, yang diwajibkan oleh Protokol Kyoto dengan target spesifik pada masing-masing negeri ini, melalui penggantian penggunaan bahan bakar minyak bumi dengan penggunaan bahan bakar nabati (agrofuel).[4]     
Bahan baku untuk produksi energi nabati, umumnya diproduksi di tanah-tanah di belahan bumi bagian Selatan, kecuali untuk kedelai (produsen terbesarnya Amerika Serikat dan Brazil) dan gandum (tanaman sub-tropis dan belahan bumi Utara). Di dalam Protokol Kyoto, negeri-negeri di belahan bumi bagian Selatan, yang umumnya merupakan negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung, tidak dibebani kewajiban target spesifik untuk menurunkan emisi karbonnya.

Oleh karenanya, meskipun terjadi emisi karbon yang luar biasa sebagai akibat perluasan perkebunan biodiesel (terutama kelapa sawit) dan perkebunan bioetanol (terutama tebu), melalui pembukaan hutan primer, hutan produksi dan hutan konversi yang kemudian mengakibatkan penggundulan dan perusakan hutan (deforestasi) dan pembakaran hutan, di wilayah bumi bagian Selatan, hal ini menurut Protokol Kyoto, tidak merupakan persoalan pokok, karena negeri-negeri ini sesungguhnya tidak dibebani kewajiban menurunkan emisi karbonnya. Dengan demikian, negeri-negeri industri tetap dapat menjaga pertumbuhan industrinya melalui tingkat konsumsi energi yang sama, dengan beralih menggunakan bahan bakar nabati yang bahan bakunya diproduksi di tanah-tanah perkebunan dan pertanian di Negara berkembang dan miskin.
Green Economy, Modernisasi Ekologis
Solusi global sejak tigapuluh tahun terakhir seakan tidak menjawab persoalan krisis lingkungan global hingga saat ini. Upaya moderinisasi ekologi tersebut dilakukan di wilayah structural maupun non structural. Clean Development Mecanism atau biasa dikenal dengan CDM, dengan berbagai variannya, seperti Payment Enviroment Services (PES). Perubahan iklim global yang terus meningkat memaksa seluruh bangsa untuk menurunkan emisi rumah kaca melalui mekanisme mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Skema pembangunan ekonomi Indonesia juga berusaha merubah paradigm pembangunan yang ekstratif , ekslpoitatif dan berjangka pendek. Kebijakan nasional pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan semboyan “pro growth, pro job, pro poor”.  Bisa dipahami sebagai upaya perbaikan kondisi lingkungan , “Green Economy” menjadi salah satu bagiannya.

Kenyataan ini sangat disadari dimana model pembangunan ekonomi yang dikembangkan telah menggerakkan pembangunan ekonomi yang cenderung ekstraktif dan berjangka pendek. Tanpa menafikan adanya perbaikan kualitas sumber daya dan lingkungan, namun secara umum dapat dikatakan bahwa upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan. Sementara itu, sinyal indikator pertumbuhan ekonomi seperti Produk Domestik Bruto/Produk Domestik Regional Bruto (PDB/PDRB), dan tingkat inflasi tidak diiringi dengan informasi tentang nilai susutnya sumber daya alam (deplesi) dan rusaknya serta tercemarnya lingkungan (degradasi).

Bercermin pada kondisi Indonesia saat ini, maka pendekatan Ekonomi Hijau (Green economy approach) dapat diartikan sebagai suatu model pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang berlebihan. Ekonomi hijau merupakan suatu lompatan besar meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani termasuk menggerakkan perekonomian yang rendah karbon (low carbon economy).

Konsep ekonomi hijau meliputi cakupan yang luas dan merupakan paradigms baru dalam pembangunan ekonomi guns menggantikan kebijakan-kebijakan lingkungan yang pada masa lalu kerap difokuskan pada solusi jangka pendek. Pendekatan ekonomi hijau merupakan win-win solution dalam mengakhiri perdebatan para penentu kebijakan yang tidak ads habis-habisnya seputar "pelestarian lingkungan" dan "pertumbuhan ekonomi". Atau dengan kata lain, Ekonomi Hijau adalah model pembangunan ekonomi berbasiskan pengetahuan terhadap ecological economic dan green economic yang bertujuan untuk menjawab saling ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi termasuk perubahan iklim dan pamanasan global.

Dilevel praksis, tentu pemikiran ekonomi hijau dan modernisasi ekologi terus dsemakin populer. Kini semakin banyak perusahaan yang berusaha menggunakan teknologi ramah lingkungan. Teknologi asap cair menjadi salah satu solusi minimisasi limbah. Instrumen amdal jadi pengendali dampak lingkungan. Kampanye jalur bebas mobil pada hari-hari tertentu, serta mengatur suhu sedang untuk pendingin ruangan adalah upaya kultural dari modernisasi ekologi.


Keadilan ekologis, Jalan baru Pembangunan Ekonomi Indonesia

Seperti yang sudah disampaikan di atas, bahwa persoalan lingkungan dan ekonomi saling bertentangan. Hal ini dikarenakan karakteristik pembangunan ekonomi yang sangat rakus, monopolistik, dan berorientasi pada ekstraksi sumberdaya alam. Didalamnya juga mengandung dominasi politik ekonomi Negara Utara terhadap Negara Selatan seperti Indonesia. Politik ekonomi yang miskin distribusi. Regulasi yang tidak menunjukan ketidakadilan dalam perbangunan global. Adalah sedikit banyaknya persoalan dasar dalam upaya perbaikan pembangunan ekonomi yang lebih hijau, bersih dan menguntungkan.

Berbagai gagasan yang menjadi mainstreaming global dan perubahan prilaku ekonomi pembangunan masih didominasi oleh Negara Utara. Sehingga mudah terlihat jelas mengabaikan kepentingan Negara Berkembang ( Selatan ).

Pendekatan Modernisasi ekologi ini dapat dikatakan melupakan konflik kepentingan antar aktor, yakni antara industri yang satu dan industri lain, industri dengan masyarakat, negara dengan masyarakat, serta antara negara maju dan berkembang. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara keduanya akan menimbulkan dominasi satu atas lainnya dan berujung pada marginalisasi pihak yang lemah.

Modernisasi ekologi jarang memerhatikan pertanyaan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Jarang dipikirkan bagaimana dampak ekolabeling terhadap perikanan rakyat. Jarang dipikirkan pula dampak kawasan konservasi hutan dan laut terhadap masyarakat sekitarnya. Begitu pula pada level global, dampak perdagangan karbon terhadap dunia ketiga dan lingkungan global. Konflik-konflik kepentingan itu membutuhkan solusi yang adil. Tanpa itu maka semua gagasan yang lahir untuk memperbaiki ekologis global tidak akan pernah selesai. Oleh karena itu, konsep keadilan ekologis perlu segera dikembangkan dan menjadi mainstreaming dalam setiap kebijakan ekonomi pembangunan global.

Menurut Flitner (2009), ada dua macam keadilan ekologis. Pertama, keadilan distributif yang menekankan pentingnya akses masyarakat pada benefit atas pemanfaatan sumber daya. Banyaknya konflik nelayan dengan pengelola kawasan konservasi merupakan akibat dari terusiknya keadilan distributif ini.

Kedua, keadilan pengakuan yang menekankan pada pentingnya pengakuan terhadap eksistensi keragaman cara masyarakat mengelola alam. Tipe keadilan ini diturunkan dari asumsi bahwa alam adalah hasil konstruksi sosial. Sejarah, pengalaman, dan budaya akan membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam, yang mungkin berbeda dengan pandangan para ahli.

Masyarakat memiliki cara sendiri bagaimana beradaptasi dan mengelola sumber daya alam yang bisa jadi lebih efektif. Namun, sering kali mereka diabaikan sehingga menjadi tamu di wilayahnya sendiri.

Ketidakadilan ekologis terjadi karena ada monopoli cara pandang terhadap alam, yaitu cara pandang positivistik berbasis sains dianggap paling obyektif, benar dan universal, meski kadang kurang efektif. Ini berimplikasi pada menguatnya pendekatan teknokratik dalam mengelola alam. Padahal, di luar sains, ada sistem pengetahuan lain di masyarakat yang juga akurat melihat fenomena alam. Low dan Gleeson (1998), ”sustainable development without environmental justice is an empty formula”.Kontradiksi ini bisa diakhiri dengan mendorong kolaborasi sains dan pengetahuan lokal.Modernisasi ekologi dan keadilan ekologis bukan saling meniadakan. Modernisasi ekologi penting, tetapi lebih penting lagi bila diiringi keadilan ekologis.


[1] Adalah Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat Periode 2011-2015, Peneliti Perkumpulan INISIATIF
[2] Lihat laporan GRAIN tentang perampasan tanah dan krisis pangan, “Seized! The 2008 landgrab for food and financial security,” Oktober 2008. http://www.grain.org/go/landgrab 
[3] Di AS sendiri, kebijakan untuk mengunakan energi berbahan bakar nabati (agrofuel) telah mulai diperkenalkan sejak tahun 1973, saat terjadinya krisis minyak, saat negeri-negeri Arab menghentikan pasokan minyaknya ke AS.
[4] Lihat artikel Almuth Ernsting, “Agrofuels in Asia: Fuelling poverty, conflict, deforestation and climate change,” dalam buletin Seedling, Juli 2007, hal. 25- 33.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar