MP3EI dan Ekologi Jawa Barat Ke Depan
Oleh Dadan Ramdan
Merujuk laporan status lingkungan hidup
Indonesia (SLHI) tahun 2012, Provinsi
Jawa Barat berada pada peringkat 27 dari 30 Propinsi yang diteliti. Indeks
lingkungan hidup (IKLH) Jawa Barat hanya bernilai 51,34 dimana indeks
pencemaran udara (IPU) bernilai 97,51, indeks tutupan hutan (ITH) hanya bernilai
38,72 dan indeks pencemaran air (IPA) hanya bernilai 17,80. Dari data ini, secara
kuantitatif, SLHI Jawa Barat tidak mengalami perbaikan bahkan cenderung menurun,
berada pada rangking empat terbawah yang sebelumnya pada peringkat lima terbawah.
Tentunya perhitungan matematik di atas
akan berbeda dan tidak sebaik fakta kerusakan ekologis yang terjadi. Bahkan,
secara sosial dan ekonomi, dampak kebijakan pembangunan belum menjamin
kemakmuran rakyat, belum bisa menurunkan angka kemiskinan di Jawa Barat yang
mencapai enam belas persen. Bahkan, implementasi kebijakan menyisakan konflik sosial
dan ruang hidup. Nilai kerusakan ekologis pun tidak sebanding dan sepadan dengan
kontribusi pendapatan yang diterima
daerah.
Seiring dengan beragam kebijakan
pembangunan yang dirumuskan oleh pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota,
dipastikan krisis ruang hidup ekologis di bumi Jawa Barat ke depan akan semakin
parah, terus mengalami degradasi yang ditandai dengan menurunnya keseimbangan
ekosistem, daya dukung dan tampung lingkungan hidup. Belum lagi, konflik sosial
yang akan muncul yang harus dihadapi rakyat.
Selain kebijakan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) di level Propinsi dan 27 Kabupaten/kota di Jawa Barat, keluarnya
Perpres No 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Perluasan dan Percepatan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2015 merupakan salahsatu dari sekian
kebijakan pemerintah pusat melalui konsepsi pembangunan wilayah-wilayah koridor
ekonomi namun nihil pembangunan koridor ekologi di dalamnya.
Kelemahan Kebijakan
Di Jawa Barat, Gubernur telah
mengeluarkan Keputusan
Gubernur Jawa Barat Nomor 500.05/Kep.1265-Admrek/2011 tanggal 3 Oktober 2011
tentang Komite Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI)
Jawa Barat. Dalam struktur KP3EI Jawa Barat ternyata didominasi oleh unsur
pemerintahan dan perusahaan, hanya satu perguruan tinggi dan tidak ada unsur
organisasi rakyat atau masyarakat sipil. Celakanya, rakyat Jawa Barat
kebanyakan belum mengetahui apa isi dan bagaimana dokumen kebijakan MP3EI ini
diimpelementasikan di Jawa Barat.
Dokumen
MP3EI menempatkan Jawa Barat sebagai bagian dari Koridor Ekonomi Jawa yang
berperan sebagai pendukung industri dan jasa nasional. Kegiatan utama ekonomi
akan diarahkan pada pembangunan sektor industri makanan minuman, tekstil,
peralatan transportasi, perkapalan, alutsista, telematika, besi baja, tembaga, industri
semen dan pariwisata. Lokus investasi di Jawa Barat akan dilakukan di wilayah
Bogor, Depok, Bekasi, Subang dan Karawang, Cekungan Bandung dan wilayah selatan
sebagai salahsatu penyuplai bahan baku.
Indikasi
total investasi koridor ekonomi Jawa diperkirakan mencapai Rp 1500 trilyun
dengan investasi sektor infrastruktur sebagai pendukung proyek investasi sebesar
Rp 256 trilyun. Sementara total investasi sektor riil di luar infrastruktur
mencapai Rp 1.290 trilyun dengan komposisi investor sebagai berikut swasta Rp
419 trilyun, BUMN Rp 295 trilyun, pemerintah Rp 95 trilyun dan campuran sebesar
Rp 481 trilyun. Di Jawa Barat sendiri, total investasi mencapai sebesar Rp 381,
77 trilyun.
Jika
kita periksa secara kritis, implementasi mega proyek MP3EI di Jawa Barat akan
berdampak pada nasib rakyat dan ruang hidup Jawa Barat baik secara ekologi,
ekonomi, dan sosial. Sehingga, kita patut mengkaji, menakar dan menimbang
untung dan rugi dari kebijakan ini.
Pertama, secara ekologis, mega
proyek ini akan membawa dampak pada meluasnya krisis ruang hidup ekologis.
Dipastikan daya dukung dan daya tampung lingkungan pun akan semakin menurun.
Kenyataannya, kebijakan MP3EI ini tidak diimbangi oleh konsepsi kebijakan
perlindungan koridor ekologis beserta perhitungan biaya kerusakan ekologis dan
emisi yang dihasilkan.
Indikator
kerusakan ekologis dapat ditunjukkan dengan meningkatnya kebutuhan energi, air
dan alih fungsi lahan produktif, produksi limbah dan sampah barang-barang
kemasan dan ekspolitasi mineral dan batubara seperti pasir besi, mangan, emas,
baja dll. Ke depan, emisi karbon, pencemaran udara, air, tanah akan semakin
meningkat seiring dengan semakin menyusutnya lahan hutan dan lahan pertanian
produktif. Indek kualitas lingkungan hidup Jawa Barat pun akan semakin menurun.
Muaranya pada malapetaka bencana ekologis yang semakin meluas.
Di
sisi lain, belum bisa ada kepastian kewajiban
perusahaan/investor untuk mematuhi segala macam aturan ruang dan lingkungan
hidup beserta prosedur perijinan dapat dijalankan dengan transparan dan
akuntabel. Kita sulit memastikan perusahaan /investor menjalankan mandat dan
amanah UU No 32 Tahun 2009 tentang PPLH dan menjalankan tanggung jawab sosial
perusahaan akibat kerusakan sosial dan lingkungan hidup yang dihasilkan.
Jelas, kebijakan MP3EI yang dibarengi
dengan kebijakan RTRW di tiap kabupaten/kota tidak memihak pada kepentingan
lingkungan hidup dan budaya agraris akan semakin menurunkan daya dukung dan
tampung lingkungan hidup dan pemenuhan target 45% kawasan lindung Jawa Barat
menjadi tidak realistis dan bahkan hanya mimpi belaka.
Kedua, secara ekonomi,
investasi yang dijalankan akan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi
investor swasta termasuk investor asing. Investasi swasta, asing dan campuran
mencapai 90% dari keseluruhan total investasi. Bagaimana begitu dominannya
investasi swasta asing dan campuran dalam mengendalikan ekonomi Jawa Barat,
begitu besar keuntungan bisnis swasta ke depan dan berapa besar yang kemudian
bisa memberikan dampak bagi penerimaan dan pendapatan negara.
Selain
itu, investasi yang dilakukan lebih mendukung pada industri hulu hilir dalam
skala besar dan membutuhkan keterampilan dan teknologi tinggi. Sehingga, yang
diuntungkan adalah pengusaha/pemodal besar dan tenaga-tenaga kerja dari luar
negeri. Lalu, bagaimana dengan akomodasi dan nasib tenaga kerja lokal yang
memiliki kapasitas rendah dalam penguasaan teknologi dan bagaimana nasib
industri rakyat dalam skala kecil. Tidak ditemukan kebijakan yang memihak dan
menguntungkan industri rakyat, rumah tangga skala mikro dan menengah yang
seharusnya dibangun dan diperkuat negara atau pemerintahan.
Bahkan
sebaliknya, diprediksi kebijakan ini akan mengancam pada keberlanjutan
kehidupan kaum tani dan buruh tani karena lahan sawah, kebun, ladang akan
terancam alih fungsi seiring meningkatknya lahan-lahan untuk pendirian pabrik, infrastruktur
jalan dan sarana-sarana industri lainnya.
Jadi,
secara ekonomi belum tentu membawa dampak kemakmuran dan kesejahteraan bagi
rakyat Jawa Barat kebanyakan, memarjinalisasi ekonomi kerakyatan dan belum
tentu memberikan kontribusi pada peningkatan pendapatan dan penerimaan daerah secara
signifikan. Bahkan, potensi korupsi implementasi proyek ini terbuka lebar untuk
terjadi.
Ketiga, secara sosial,
implementasi kebijakan ini akan membutuhkan lahan dan tanah yang cukup luas,
penyediaan air yang banyak yang saat ini menjadi penghidupan rakyat terutama kaum
tani, buruh tani, nelayan. Dipastikan pembebasan-pembesan lahan untuk
infrastruktur dan fasiltas industri akan berbuah pada konflik dan sengketa di
masyarakat. Artinya konflik sosial dan sumber daya alam pun akan semakin
merebak. Ancaman kriminalisasi pun terbuka lebar untuk terjadi. Biaya sosial
pun semakin tinggi ditanggung rakyat dan pemerintah.
Proyek MP3EI seperti akan berbuah
manis, menjanjikan dan menjadi tumpuan peningkatan pendapatan negara dan daerah
serta kesejahtaraan rakyat. Namun, dari catatan kritis di atas, mega proyek akan
berdampak buruk dan rugi secara ekonomi, sosial dan ekologi bagi rakyat dan
ruang hidup Jawa Barat dan wilayah lain di Indonesia. Penulis memandang, MP3EI
sebagai master plan percepatan, perluasan dan perusakan ekologi Indonesia.
Sayangnya, pemerintahan pusat dan daerah sudah melegalisasi dan meligitimasi
mega proyek ini, meskipun penolakan muncul dari Walhi dan organisasi-organisasi
tani dan nelayan serta organisasi sosial lainnya, pemerintah tak bergeming dan proyek
ini tak terbendung terus melaju bahkan sudah berjalan lebih dari satu tahun.
Visi Ke depan
Menurut pandangan penulis, menempatkan
Jawa Barat sebagai sebagai pendukung industri dan jasa dalam skala besar tidak
tepat dan keliru. Potensi strategis Jawa Barat ada pada kekuatan ekonomi agraris
dengan potensi utama/pokok pada pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan
darat-laut yang ditopang dengan dukungan alamiah hutan sebagai pemasok air,
penyerap emisi karbon dan penyedia udara sehat.
Menurut pandangan penulis, visi pembangunan
Jawa Barat ke depan bukan pada industri dan jasa namun visi membangun tatanan
masyarakat agraris-ekologis (agroekologis). Artinya pembangunan agraria yang
memperhatikan kaidah ekologi dan konservasi dengan industri rakyat sebagai
basis ekonomi utama. Untuk mencapai visi ini, maka kebijakan untuk mempercepat peningkatan
kualitas kapasitas sumber daya manusia, perlindungan kaum agraris dan reformasi
agraria berarusutama ekologis mutlak harus diprioritaskan.
Penulis.
Dadan Ramdan. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat
Periode 2011-2015. No Kontak 082116759688.