Air adalah hak asasi manusia. Vandana Shiva dalam Zaky Yamani, salah seorang aktivis lingkungan hidup menjelaskan, secara turun temurun air diperlakukan sebagai hak asasi, yaitu hak yang muncul dari kodrat alamiah manusia, kondisi historis, kebutuhan dasar, atau gagasan tentang keadilan. Hak atas air sebagai hak asasi tidak berasal dari negara, tetapi konteks ekologis tertentu dari eksistensi manusialah yang memunculkan hak atas air itu. Sebagai hak asasi manusia, hak atas air merupakan hak guna; air boleh dimanfaatkan tapi tidak bisa dimiliki.
Sebenarnya, jauh sebelum Vandana Shiva menulis tentang Perang Air tahun 2002, Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sudah menegaskan dengan terang bahwa hak atas air adalah hak guna, tidak ada penguasaan dan pengusahaan atas air. Artinya, undang-undang ini memastikan air memiliki fungsi sosial untuk dikelola secara komunal dengan mempertimbangkan adat dan tradisi arif masa lalu.
Krisis Air di Jawa Barat
Sesungguhnya, rakyat dan Jawa Barat sedang menghadapi patologi ekologis air. Patologi terjadi di sumber-sumber mata air, air permukaan dan air tanah. Minimalnya, patologi ekologi air dapat kita periksa dari aspek krisis air secara kuantitatif dan kualitatif serta manajemen atau tata kelola air oleh negara. Dari situasi krisis, kemudian akan berdampak pada semakin besarnya potensi ancaman dan bencana ekologi dan ketiadaan akses keadilan rakyat atas air.
Secara kuantitatif situasi kritis air dapat kita periksa dari lahan hutan kritis di Jawa Barat mencapai sekitar 60% dari total 1,1 Juta ha lahan hutan yang ada baik hutan produksi, lindung maupun kawasan konservasi. Celakanya, luasan hutan konservasi di Jawa Barat terus menyusut, hingga kini mencapai 16%. Kawasan suaka alam dan pelestariaan alam seperti Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Cagar Alam dll semakin terancam alih fungsi akibat praktik pengembangan wilayah kawasan atas nama pembangkit listrik tenaga panas bumi, pembangunan infrastruktur strategis serta pengembangan ekowisata untuk meningkatkan pendapatan negara dan komersial.
Berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis di Pulau Jawa, data menunjukan aliran mantap di pulau Jawa sekitar 47.268 milyar m3/tahun sementara keperluan air sekitar 59.838 milyar m3/tahun artinya diperkirakan terjadi defisit ketersediaan air sekitar 12.570 milyar m3/thn. Situasi berkurangnya layanan alam atas air terus terjadi seiring konversi lahan sawah menjadi industri mencapai 55,7% serta pembangunan sarana wisata dan pemukiman besar di daerah-daerah tangkapan air dan sumber mata air.
Ada beberapa kasus aktual, Kawasan Bopuncur dan Kawasan Bandung Utara semakin krisis akibat pembangunan fasilitas pariwisata dan penebangan hutan yang serampangan. Sekitar 65% dari total 40 DAS di Jawa Barat berada dalam keadaan rusak. Kerusakan juga terjadi di daerah aliran sungai dan wilayah Citarum, Citanduy, Cimanuk, Ciwulan, Cisanggiri dan Cisadane baik hulu, tengah dan hilir. Sekitar 600an situ/danau dan embung-embung air di Jawa Barat mengalami kerusakan dan sakit. Kondisi ini akan berdampak pada semakin menurunnya debit sumber air dan ketersediaan air permukaan semakin berkurang, Sedangkan kerawanan ketersediaan air Citarum mengancam pasokan energi listrik tenaga air di pusat pembangkit listrik di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur Purwakarta.
Secara kualitatif, kualitas air permukaan (danau, sungai, kolam) semakin rusak dan tercemar. Berdasarkan data BPLHD Jawa Barat, sebagain besar kualitas air di Wilayah Sungai Citarum, Cimanuk-Cisanggarung, Cisadane-Ciliwung, Citanduy, Ciwulan-Cilaki, dan Cisadea-Cibareno berada lama kondisi sakit dan tercemar dengan katagori D. Kerusakan dan berkurangnya kualitas air akibat pencemaran oleh pabrik-pabrik yang membabi buta dan limbah rumah tangga dan persampahan dari kawasan perkotaan, serta pencemaran akibat aktivitas pertambangan. Di beberapa daerah di Jawa Barat pun, pencemaran merebak hingga ke pesawahan dan ladang para petani.
Dari aspek tata kelola air, situasi patologi krisis air juga diperparah dengan praktik tata kelola air yang buruk yang dilakukan oleh negara baik pemeritahan pusat dan daerah serta semakin kuatnya kuasa modal dalam melakukan eksploitasi dan privatisasi air oleh perusahaan swasta. Penguasaan dan pengusahaan air oleh pemodal menyebabkan akses rakyat terhadap air bersih dan minum semakin terbatas. Keberdaan BUMN dan BUMD seperti PT Jasa Tirta dan PDAM di Kabupaten/Kota belum memberikan jaminan bagi pengelolaan air yang berkeadilan bagi rakyat (miskin) dan lingkungan itu sendiri. Kasus tata kelola air di Kota Bandung misalnya, PDAM Kota Bandung hanya baru melayani sekitar 30% dari total populasi sekitar 2,3 Juta penduduk. Pemkot dan PDAM Kota Bandung juga turut andil atas kehilangan air bersih sebanyak 42,57 persen dari volume air yang didistribusikan atau sebesar 30.070.910 meter kubik per tahun, atau setara dengan air sebanyak 181,81 kolam seluas lapangan sepakbola standar internasional, dengan kedalaman 20 meter, jika dikalkulasikan setara negara mengalami kerugian Rp. 120 Milyar Per tahun.
Jika situasi patologi ekologi air terus dibiarkan maka ancaman bencana ekologis akan terus berlangsung dan mengancam keselamatan puluhan juta rakyat Jawa Barat. Bencana ekologis yang akan menimpa diantaranya kekeringan dan kekurangan air yang terjadi di hampir 26 Kabupaten/Kota di Jawa Barat di musim kemarau, banjir (bandang) yang terus meluas di musim penghujan. Ancaman ekologi krisis air akan terus berlangsung yang akan berdampak pada situasi kerawanan pangan dan kelangkaan air (bersih) di musim kemarau. Berdasarkan catatan WALHI Jawa Barat di tahun 201, kekeringan mencapai sekitar 260.000 Hektar, begitupun bencana longsor dan gerakan tanah akibat alih fungsi kawasan terus berlangsung setiap tahun dan menjadi malapetaka kehidupan.
Manajemen air yang buruk, juga berdampak sengketa sosial atau istilah lain adalah perang air. Sengketa bahkan perebutan akses air hampir terjadi di daerah-daerah. Sengketa air melibatkan banyak pihak, antara petani dengan pengusaha, antara petani dengan perusahaan swasta dan antara petani dengan petani. Kasus sengketa air di Majalaya di Hulu DAS Citarum, adalah realitas bagaimana sengketa untuk mendapatkan akses air benar-benar terjadi. Sengketa air dengan mekanisme resolusi konflik yang lemah menuai malapetaka kematian.
Akses Rakyat Atas Air
Selanjutnya, dampak patologi air adalah mengenai akses rakyat atas air sebagai ekses dari adanya privatisasi atau swastanisasi air. Kita setuju dengan Vandana Shiva, bahwa setiap manusia memiliki hak atas air, karena tanpa air manusia tidak akan bisa hidup. Tetapi gagasan yang elok tentang hak asasi atas air itu, tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Di dalam kehidupan sehari-hari sering kita melihat, air yang menjadi salah satu kebutuhan paling mendasar bagi manusia dan mahluk hidup lainnya, tidak ditempatkan sebagai mana mestinya. Bahkan lebih parah lagi, sekarang air dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan uang. Sekarang, sumber-sumber air dapat dengan mudah dibeli dan dikuasai. Di beberapa tempat, air tidak lagi mengalir dengan bebas ke selokan-selokan, atau ke sungai-sungai, karena beberapa orang yang memiliki modal mendapat kekuasan untuk menampungnya, mengolahnya, lalu menjualnya.
Seperti yang dikatakan Zaky Yamani, pemandangan itu sungguh sebuah kenyataan yang ganjil. Karena bagaimana mungkin benda yang secara alamiah mengalir di dalam satu siklus, tiba-tiba dikuasai dan dijadikan hak milik oleh sekelompok kecil manusia. Juga sebuah kenyataan yang aneh dan mengganggu nalar kita, bahwa sebagian orang telah menguasai hak asasi orang lain, lalu menjualnya di dalam berbagai kemasan. Kenyataan itu memunculkan pertanyaan, apakah hak asasi manusia dapat diperjualbelikan? Pertanyaan itu sama dengan pertanyaan, apakah hak hidup kita, atau hak kemerdekaan kita, dapat diperjualbelikan kepada pihak lain? Jawabannya tentu tidak.
Penguasaan dan pengusahaan air oleh sebagian kecil manusia, komersialisasi air, swastanisasi air, atau privatisasi air, bukan hal baru di dunia ini. Ide untuk privatisasi air itu sudah dimunculkan sejak tahun 1977, di Konferensi Air Dunia (World Water Conference) di Mar del Pata, yang digagas oleh PBB. Bryce menjelaskan, di konferensi itu dideklarasikan “UN International Drinking Water Supply and Sanitation Decade” (Dekade Suplai Air Minum dan Sanitasi Internasional PBB). Tujuannya, untuk memastikan semua orang di dunia akan mendapatkan akses kepada air yang layak dan aman dan sanitasi dalam waktu satu dekade.
Konferensi air dunia kemudian meligitimasi berdirinya Dewan Air Dunia (World Water Council) pada 1996, di mana anggota pendirinya adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Sumber Daya Air Mesir, the Canadian Internasional Development Agency, dan perusahaan air transnasional asal Perancis, Suez Lyonnaise des Eaux. Dewan Air Dunia itu didukung pula oleh banyak lembaga dunia seperti UNICEF, UNESCO, UNDP, WHO, dan Bank Dunia.
Resep Penyembuhan
Tentunya, situasi ini tidak bisa dibiarkan. Resep penyembuhan sebagai jalan keluar dari situasi patologi harus segera di rumuskan dan dijadikan pijakan bersama dalam kerangka pemulihan untuk memastikan jaminan keberlanjutan layanan air, perlindungan dan keadilan rakyat atas air. Minimalnya, resep penyembuhan bisa didasarkan pada tiga ranah yaitu, ranah kebijakan dan hukum, ranah program dan konteks sosial-budaya.
Pertama, pada ranah kebijakan dan hukum. Dalam pendekatan ini, negara harus memastikan kerangka UUPA 1960 menjadi dasar utama dalam mengelola air, mengembalikan air sebagai fungsi sosial. Selain, perlu segera memastikan kebijakan penataan ruang dan wilayah mengedepankan keberlanjutan layanan air bagi semua dengan muatan-muatan tradisi dan kearifan lokal. Kita perlu belajar dari pengalaman komunitas adat di Jawa Barat dalam mengelola keberlangsungan layanan air dan lingkungan hidup. Pencabutan Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang membuka kran privaitasisasi dan swastanisasi air dicabut sesegera mungkin.
Pada ranah hukum, penegakan hukum lingkungan dan tata ruang perlu dijalankan secara konsisten. Negara harus memastikan penegakan hukum lingkungan, pengawasan dan pemantauan serta penataan atas prosedur perijinan lingkungan benar-benar dijalankan oleh pemegang ijin. Penindakan aparatur penegak hukum pun harus tegas bagi pelaku industri yang secara nyata melakukan kejahatan lingkungan hidup dengan membuang limbah ke media dan sumber air atau sungai. Selain, penindakan tegas terhadap pelaku pencemar industri. Pihak perusahaan juga wajib mengeluarkan dana bagi pemulihan akibat usaha yang dilakukannya.
Kedua, pada ranah program, perlu rekonstruksi dan rekognisi pendekatan program dalam penyelamatan rusaknya kondisi air di Jawa Barat. Sebaiknya, program yang dijalankan harus benar-benar bersumber dari kebutuhan rakyat, menempatkan rakyat sebagai subjek, dan mengakomodasi praktik-praktik lokal yang sedang berjalan.
Selama ini, program yang dijalankan hanya sebatas proyek yang menghambur-hamburkan anggaran rakyat. Sudah ratusan trilyun dana program dan proyek yang dikeluarkan negara untuk rehabilitasi hutan, normalisasi sungai, pembangunan infrastruktur tidak memberikan dampak yang signifikan bagi perbaikan lingkungan dan kualitas kesehatan dan kemakmuran rakyat. Celakanya, dana-dana program dan proyek tersebut bersumber dari pinjaman utang dari ADB, World Bank, dan lembaga keuangan internasional lainnya. Ini kemudian, menjadi malapetaka baru bagi lingkungan hidup dan rakyat Jawa Barat.
Ketiga, ranah sosial budaya, belajar dari program yang dijalankan oleh pemerintah yang selalu menuai kegagalan. Maka, pemulihan ekologi air, membutuhkan literasi dan pengalaman sosial budaya, komunitas dan tradisi arif masa lalu yang masih tumbuh dan berkembang yang secara konsisten memajukan keberlanjutan ekosistem. Selain itu, sebagai sebuah rekognisi, pendekatan sosial dan antropologi penting menjadi basis dasar dalam agenda menyembuhkan patologi ekologi air. Kemudian, penting membangun tradisi dalam memelihara air, sungai ataupun sumber air lainnya menjadi gerakan dan tradisi baru dalam memajukan kualitas air.
Momentum hari air, di tahun 2012 tidak dimaknai secara seremonial belaka, namun harus menjadi refleksi bersama bahwa kita tidak bisa hidup tanpa air, namun air menjadi barang langka dan mahal dan hak atas air adalah hak alamiah manusia yang harus dijamin oleh semua orang, apalagi negara. Menjamin ketersediaan bagi semua, berarti kita memanusiakan manusia itu sendiri.
Penulis. Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat Periode 2011-2015.
Kontak 082116759688