Krisis perampasan ‘Ruang Hidup’ (baca: ekologi) rakyat di Tatar Pasundan (Jawa Barat) semakin memprihatinkan dan menambah catatan sejarah buruknya perlindungan dan penegakan keadilan atas ruang hidup dan lingkungan hidup. Krisis perampasan ruang hidup yang terjadi merupakan kelanjutan dari tragedi perampasan ruang hidup rakyat sebelumnya yang belum terselesaikan. Krisis ekologi ini dipastikan akan berdampak pada berkurangnya daya dukung dan tampung lingkungan hidup, sekaligus mengancam pada keselamatan rakyat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya di bumi Jawa Barat.
Konsepsi Pemajuan Hak Dasar Rakyat atas “ Ruang Hidup “
Sebagaimana kita ketahui bersama, pijakan negara atas jaminan perlindungan hak-hak rakyat sudah diatur dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan konstitusi Hak Asasi Manusia. Perlindungan dan pemenuhan hak dasar rakyat sudah tegas diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV diantaranya dalam pasal-pasal berikut :
Pasal 28A mengatakan Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B mengatakan, (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28C mengatakan (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Dalam konteks perlindungan ruang hidup dan agraria, minimalnya ada lima Undang-Undang yang menjadi pijakan negara dalam memenuhi dan menjamin hak asasi manusia baik sipil politik maupun ekonomi, sosial dan budaya. Undang-Undang yang dimaksud diantaranya yaitu Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No 11 tahun 2005 tentang kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Pasal 9 mengatakan :
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup pasal 65 mengatakan :
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan ingkungan hidup.
Pasal 66 bahkan secara tegas mengatakan bahwa Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 60 mengatakan bahwa
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada
pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Dalam Undang Undang No 11 tahun 2005 memuat jaminan hak-hak warga negara diantaranya:
1) Hak atas pekerjaan;
2) Hak mendapatkan program-program pelatihan teknis dan vokasional;
3) Hak untuk mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik;
4) Hak untuk membentuk serikat buruh;
5) Hak untuk menikmati jaminan sosial, termasuk asuransi sosial;
6) Hak untuk menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan;
7) Hak atas standar hidup layak, termasuk pangan, sandang, dan perumahan;
8) Hak untuk terbebas dari kelaparan;
9) Hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi;
10)Hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara cuma-cuma;
11)Hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya dan menikmati keuntungan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan aplikasinya.
Selain pijakan di atas, Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang UUPA menjelaskan bahwa secara pasti bagaimana negara harus menjamin pemenuhan hak rakyat secara ekonomi dan sosial seperti air, tanah dan ruang angkasa secara adil dan berkelanjutan.
Fenomena Krisis “Ruang Hidup” Rakyat Jawa Barat
Fenomena krisis ‘Ruang Hidup “ di Jawa Barat dapat kita periksa dari beragam kasus ruang dan lingkungan hidup yang setiap hari muncul baik yang terpublikasikan maupun yang tidak terpublikasikan di media massa. Dari catatan WALHI Jawa Barat, setiap media dalam sehari mempublikasikan minimalnya sekitar lima kasus lingkungan hidup/ruang hidup. Jika diakumulasikan maka sepanjang tahun 2011 diperkirakan sekitar 10.800-an kasus lingkungan hidup terjadi di kawasan bioregional Tatar Pasundan. Fenomena krisis ekologi mengemuka di beberapa sektor penting diantaranya kehutanan, pertambangan, persampahan/limbah, penataan ruang, sumber daya air dan wilayah kelola pesisir dan laut baik utara maupun selatan Jawa Barat.
Di sektor kehutanan, krisis ekologis dapat di tunjukan dengan semakin kritisnya ekologi hutan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kualititatif, alih fungsi kawasan hutan baik di kawasan konservasi, lindung dan produksi semakin marak terjadi dan mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati, mengurangi pasokan ketersediaan air, longsor dan banjir di musim penghujan. Berdasarkan laporan dari Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia, Indek Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dari aspek tutupan hutan di Jawa Barat bernilai 38,69, berada dalam indeks kualitas yang sangat rendah.
Secara kuantitatif, berdasarkan catatan WALHI Jawa Barat, praktik alih fungsi kawasan hutan hingga tahun 2011 terakumulasi sekitar 95.000 hektar atau 10% dari total kawasan hutan negara di Jawa Barat. Artinya jika rata-rata tegakan dalam 1 Ha adalah 1000 pohon maka sekitar 95 juta pohon lenyap dari hutan. Alih fungsi sebagian besar terjadi di kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani melalui skema kerjasama operasional (KSO) dan pinjam pakai kawasan. Kegiatan pertambangan mineral dan panas bumi baik terbuka maupun tertutup, wanawisata, pertanian massal dan pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang utama kerusakan hutan. Sementara, berdasarkan data dari BPLHD Jawa Barat tahun 2010 saja sekitar 515.000 Ha kondisi hutan masih berada dalam kondisi kritis dan belum terpulihkan.
Di samping itu, pendapatan negara dari sektor kehutanan di Jawa Barat belum secara terbuka menjadi informasi publik. Kegiatan alih fungsi kawasan hutan menjadi pertambangan, wanawisata, dan jenis usaha lainya menyimpan potensi korupsi dan kerugian negara yang cukup besar. Berdasarkan kajian WALHI Jawa Barat, dari sekitar 18 perusahaan tambang di kabupaten Bogor diperkirakan pendapatan sektor kehutanan yang dihasilkan sekitar Rp 78 milyar selama 5 tahun, artinya dari satu perusahaan potensi pendapatan negara bisa mencapai rata-rata 4 Milyar dalam setahun.
Berdasarkan data yang dimiliki WALHI Jabar, tercatat sekitar 790 KSO dan pinjam pakai kawasan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di 15 Kabupaten/Kota di Jawa Barat dalam rentang 2007-2012. Artinya potensi pendapatan dari KSO dan pinjam pakai kawasan jika diakumulasi rata-rata bisa mencapai Rp 3.160 milyar atau Rp 3,16 Trilyun. Bisa dipastikan betapa besarnya pendapatan dari sejumlah KSO dan pinjam pakai kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani serta kerjasama-kerjasama yang dilakukan BBKSDA dan Dinas Kehutanan di Jawa Barat.
Krisis ekologi di sektor pertambangan hingga akhir 2011, dapat ditunjukan dengan semakin meluasnya praktik pertambangan galian pasir mencapai sekitar 25.000 ha, pertambangan mineral galena, emas, mangan, karst dll mencapai sekitar 156.000 ha, pertambangan panas bumi di wilayah hutan konservasi, lindung dan produksi yang mencapai sekitar 1200 ha serta peningkatan kegiatan penambangan pasir besi yang terindikasi ilegal di selatan Jawa barat yang mencapai 3000-an ha.
Di sektor tata ruang, alih fungsi ruang dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya semakin meluas seiring dengan pembangunan infrastruktur, pemukiman, perdagangan, hotel, mall, jalan, bandara, waduk, PLTN dan sarana fisik lainnya. Perluasan perkebunan sawit juga semakin meningkat dan dipastikan mengurangi luasan lahan konservasi /resapan di Jawa Barat. Pembangunan yang membabi buta menjadi pemicu konversi lahan secara besar-besaran.
Di sektor persampahan, produksi limbah domestik dan industri semakin bertambah. Tingkat konsumsi sekitar 44 juta rakyat Jawa Barat yang semakin besar akan berdampak pada peningkatan produksi sampah domestik. Rata-rata produksi sampah tiap kabupaten/kota di Jawa Barat sekitar 5 Juta liter/hari, berarti dalam setahun ini, volume sampah di Jawa Barat sekitar 130 Juta liter/perhari, jika diakumulasi dalam setahun maka sekitar 47.320 Juta liter/hari sampah dihasilkan. Sedangkan yang bisa ditangani dengan baik hanya sekitar 20% dari total volume sampah yang dihasilkan. Permasalahan tata kelola sampah komunal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dilakukan oleh propinsi dan kabupaten/kota di Jawa Barat juga masih buruk dan belum terkelola sesuai dengan manajemen pengelolaan sampah yang lebih memperhatikan lingkungan hidup dan keselamatan rakyat.
Selain sampah rumah tangga, produksi limbah cair, padat dan uap/gas dari pabrik /industri juga semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan industri di Jawa Barat. Sekitar 93% emisi pencemar dihasilkan oleh kegiatan industri. Berdasarkan data Dinas ESDM sekitar 226 perusahaan yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota memakai dan memproduksi limbah batu bara. Diperkirakan pada tahun ini, limbah batubara yang dihasilkan mencapai 3,5 juta ton, meningkat dari tahun 2009 yang mencapai 3,29 ton. Kemudian, limbah cair dan gas yang dihasilkan industri dan gas kendaraan bermotor dipastikan semakin meningkat. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor hingga tahun 2011 mencapai 5,8 Juta unit menjadi penyumbang emisi dan pencemaran udara yang signifikan.
Di sektor sumber daya air yang memiliki kaitan dengan kualitas daerah aliran sungai di Jawa Barat menunjukan kondisi yang memprihatinkan. Keseluruhan DAS di Jawa Barat berada dalam kondisi kritis baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif sekitar 60%-80% DAS penting (Citarum, Ciujung, Cisadane, Citanduy, Cimanuk, Ciwulan, Cisanggarung dll) berada dalam situasi kritis. Berdasarkan laporan KLH, indeks kualitas air di Jawa Barat pada tahun 2009-2010 sekitar 15,33 berada di peringkat terendah diantara 33 propinsi di Indonesia. Dipastikan angka ini tidak akan mengalami kenaikan malah sebaliknya akan mengalami penurunan seiring dengan eksploitasi sumber daya air di Jawa Barat.
Fenomena krisis ekologis juga terjadi di wilayah pesisir dan laut baik utara maupun selatan Jawa Barat. Di pesisir utara, alih fungsi kawasan mangrove, abrasi dan rob adalah fenomena krisis ekologi yang belum terpulihkan. Kemudian, di pesisir selatan Jawa Barat, pembangunan infrastruktur dan meluasnya aktivitas pertambangan pasir besi di pesisir selatan akan mengancam tatanan ekologi sekitar 5840 ha wilayah pesisir dan laut selatan Jawa Barat. Keluarnya Surat Edaran Gubernur tentang Moratorium Ijin Penambangan Pasir Besi tidak menjadi kekuatan hukum pengendalian dan cenderung diabaikan oleh pemerintahan kabupaten di Jabar Selatan, Tim Terpadu Pengendalian Penambangan Pasir Besi pun belum memberikan kontribusi dalam menjalankan pengawasannya. Krisis di wilayah pesisir dan laut dipastikan akan mengancam keberlangsungan perikanan dan kelautan dan keberlanjutan keselamatan kehidupan kaum nelayan Jawa Barat.
.
Ancaman Krisis Perampasan “Ruang Hidup” Rakyat
Melihat fenomena dan kasus yang muncul, maka krisis ekologi atau perampasan ruang hidup di Jawa Barat merupakan ancaman dan dipastikan akan menimbulkan dampak bagi keberlanjutan kualitas kehidupan manusia secara ekologis, ekonomi, sosial dan budaya rakyat. Ancaman krisis yang dimaksuda diantaranya :
Pertama, bencana ekologi disertai bencana alam yang akan mengancam keselamatan kehidupan sekitar 44 juta rakyat Jawa Barat. Dampak bencana ekologis ini dapat ditunjukkan dengan krisis rawan pangan karena gagal panen, kekeringan di musim kemarau, terbatasnya ketersediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, peningkatan emisi, keterbatasan lahan, terancamnya ketersedian perumahan, sandang dan keberlanjutan kesehatan, kemiskinan dan berujung malapetaka kematian.
Dari catatan WALHI Jawa Barat sepanjang tahun 2011, beragam bencana alam dan ekologi telah menewaskan sekitar 120 jiwa sedangkan frekuensi kejadian beragam bencana mencapai 2032 kali kejadian. Contoh kasus di Kabupaten Bogor misalnya, sejak Januari hingga Desember 2011, sebanyak 44 orang meninggal dunia. Sedangkan jumlah bencana di Bogor yang tercatat sebanyak 332 kali. Krisis juga diperparah dengan pembiaran dan penelantaran pemerintah propinsi dan kabupaten/kota terhadap warga korban beragam bencana (longsor, banjir, bajir bandang, rob dll) yang tengah menjerit-jerit dan membutuhkan perlindungan. Kasus banjir di Jawa Barat meluas hingga 14 kabupaten/kota.
Kedua, krisis ekologi telah berdampak pada semakin meluasnya sengketa dan perampasan ruang hidup, agraria dan lingkungan hidup. Dari catatan WALHI Jawa Barat, sepanjang tahun 2011, rata-rata sengketa lingkungan hidup dan konflik sumberdaya alam di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat mencapai 30-an kasus. Jika diakumulasi maka diperkirakan sekitar 720 kasus sengketa/konflik ruang dan lingkungan hidup terjadi di tahun 2011. Hampir sekitar 80%, konflik ruang dan lingkungan hidup memiliki kaitan erat dengan konflik agraria/pertanahan. Perkawinan sengketa ruang agraria dan lingkungan hidup terjadi di seluruh kawasan bioregional Cekungan Bandung, Ciayumajakuning, Purwasuka, Priangan Timur dan Pangandaran, Bodebekpunjur dan wilayah Sukabumi dan sekitarnya.
Ketiga, ancaman konflik dan perampasan“ruang hidup” ekologi adalah terjadinya kriminalisasi terhadap warga/rakyat sebagai korban. Dalam kebanyakan kasus dan sengketa ruang dan lingkungan hidup yang ada, warga sebagai pihak korban harus berhadapan langsung dengan pengusaha dan pemerintah di pihak lainnya. Ancaman kriminalisasi diawali dengan tindakan represif, intimidasi, intervensi dari aparatus negara dan pihak pemodal/pengembang usaha terhadap warga yang memperjuang lingkungan hidup yang sehat. Berdasarkan catatan WALHI Jawa Barat, sekitar 18 orang telah menjadi korban kriminalisasi di tahun 2011. Berdasarkan laporan dari LBH Bandung, tercatat sekitar 10 sengketa lingkungan yang berujung kriminalisasi yang telah ditangani dari ratusan kasus sengketa perampasan ruang hidup yang ada.
Keempat, krisis ekologis juga secara kualitatif berdampak pada kualitas kesehatan manusia itu sendiri. Kualitas kesehatan akan berpengaruh pada angka harapan hidup dan kematian manusia. Ada korelasi yang nyata antara kualitas lingkungan hidup yang sehat dengan tingkat harapan hidup manusia itu sendiri. Hal ini ditunjukan oleh meningkatnya kasus gizi buruk di masyarakat yang berujung pada kematian.
Kelima, krisis ekologi berdampak pada konflik/sengketa sosial di masyarakat, selain sengketa rakyat dengan pengusaha dan pengurus negara. Dari pengalaman penanganan kasus ruang dan lingkungan hidup, konflik/sengketa sosial berupa pertengkaran antar keluarga, tetangga, masyarakat, masyarakat adat di lokasi-lokasi yang berkasus. Bahkan konflik sosial di masyarakat berujung kematian dan punahnya nilai-nilai kearifan lokal dan adat istiadat masyarakat di seantero Tatar Pasundan
Faktor Utama Krisis Perampasan “Ruang Hidup”
Melihat fakta krisis ekologi yang terjadi, faktor utama krisis ekologi yang terjadi di Jawa Barat tidak berbeda dengan kondisi sebelumnya, diantaranya:
Pertama, Persengkokolan penguasa negara dengan pengusaha/pemodal yang rakus dan serakah di tingkat nasional dan daerah. Persengkongkolan ini dapat ditunjukan dengan adanya produksi kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada keadilan ekologi dan ruang hidup. Produksi kebijakan pusat dan aturan di kementrian kehutanan, ESDM, Bappenas, pertanian, perdagangan, industri serta pekerjaan umum yang secara terus menerus menjadi pemacu terjadinya krisis perampasan ruang hidup dan ekologi di level lokal/daerah bahkan desa.
Produksi kebijakan ini ternyata tidak sejalan dengan konsepsi kebijakan Undang-Undang Dasar 1945, UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU tentang Penataan Ruang, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang tentang Hak EKOSOB, dan Undang-Undang tentang Ketentuan Peraturan Pokok-Pokok Agraria.
Produksi kebijakan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota terus mengalir atas dalih peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kesejahteraan rakyat menjadi pemacu krisis ekologi dalam bingkai otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah dijadikan alat keruk eksploitatif sumber daya alam tanpa kendali kaidah lingkungan hidup seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan nilai-nilai kearifan lokal.
Kebijakan RTRW bukan menjadi instrumen yang memberikan jaminan perlindungan ruang dan lingkungan hidup, namun menjadi pintu masuk perijinan pembangunan dan pengrusakan lingkungan hidup yang masif. Padahal, semua kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki potensi rawan dan rentan terjadinya beragam bencana ekologi.
Kedua, penegakan hukum dan pengawasan ruang dan lingkungan masih lemah yang dijalankan aparatus negara. Indikasi lemahnya penegakan hukum ruang dan lingkungan dapat ditunjukkan dengan lemahnya kapasitas PPNS dalam melakukan pengawasan dan penyidikan kasus lingkungan hidup baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif, jumlah PPNS rata-rata setiap kabupaten/kota hanya memiliki 3-4 orang. Secara kualitatif, PPNS juga memiliki kapasitas yang rendah dari sisi komitmen, integritas dan kompetensi.
Kondisi yang sama juga dialami oleh institusi kepolisian dan pengadilan. Rendahnya kapasitas penyidik kepolisian, kejaksaan dan kehakiman memahami secara komprehensif hukum tata ruang dan lingkungan hidup menjadi indikasi penegakan hukum lingkungan tidak berjalan. Dari catatan yang ada, dari 20 kasus pengrusakan ruang dan lingkungan yang dilakukan oleh pengusaha/pemodal yang masuk ruang pengadilan, hanya 3 kasus yang dimenangkan di persidangan. Situasi ini menunjukkan bahwa keadilan ruang dan lingkungan belum secara sejati ditegakkan. Salah satu kasus yang mengerikan, ketika warga desa kampung Pangguh Desa Ibun, pencari kayu bakar di hutan harus menjalani tahanan dan persidangan sementara negara membiarkan ratusan pemodal/pengusaha yang melakukan pengrusakan lingkungan hidup (pencemaran, pembabat hutan, pelanggar tata ruang) yang jelas-jelas melanggar tata ruang dan lingkungan hidup tidak diseret ke pengadilan.
Ketiga, masih rendahnya alokasi anggaran sektor lingkungan hidup untuk memulihkan krisis lingkungan hidup yang terjadi di daerah. Semisal di tahun 2011, APBD Propinsi Jawa Barat hanya menganggarkan sekitar Rp 9 sampai 14 milyar atau hanya kisaran 1% dari total belanja setiap tahun untuk pemulihan dan pengelolaan lingkungan. Di kabupaten/kota rata-rata belanja untuk sektor lingkungan hidup hanya 2-3 milyar atau 0,6 sampai 1% dari total belanja. Jumlah anggaran ini tidak sebanding dengan tingkat kerusakan dan potensi kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam yang dijalankan. Sementara, tingkat realisasi anggaran di tingkat daerahpun berkisar antara 75-80 persen, sehingga sisa anggaran rata-rata yang tidak terserap sekitar 20 persen per tahun.
Keempat, belum terkelolanya aktivasi kesadaran dan partisipasi komunitas dan para pihak yang berpartisipasi nyata dalam memperbaiki lingkungan hidup di Jawa Barat. Rendahnya upaya pemajuan kesadaran dan partisipasi masyarakat merupakan faktor determinan yang berkontribusi nyata dalam memajukan kualitas lingkungan hidup. Rendahnya kesadaran masyarakat akan ruang dan lingkungan hidup disebabkan oleh terbatasnya akses informasi atas kebijakan perencanaan ruang dan lingkungan hidup serta pengelolaan lingkungan di pelbagai sektor. Namun, meluasnya praktik komunitas dan para pihak lainnya secara swadaya dalam melindungi ruang dan lingkungan hidup menunjukkan perubahan positif yang bisa dikelola secara kolektif.
Agenda Pemulihan Hak Rakyat, Solusi Yang Harus dijalankan
Melihat konsepsi aturan pemenuhan hak atas ruang hidup yang dijelaskan sebelumnya, begitu terang bahwa negara wajib menjamin pemenuhan hak dasar warga baik sipil politik maupun ekonomi, sosial dan budaya rakyat Indonesia. Namun, pengalaman, realitas krisis kehidupan yang menimpa rakyat justru tak sejalan dengan agenda perlindungan, pemajuan keadilan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang menimpa sebagian besar rakyat di negeri ini, begitu pun rakyat Jawa Barat.
Belajar dari pengalaman terjadinya krisis perampasan ruang hidup yang terjadi khususnya di Jawa Barat, maka agenda pemulihan hak (dasar) rakyat harus segera dijalankan. Artinya pengurus negara di semua level pemerintahan harus segera menjalankan agenda pemulihan hak dasar rakyat dengan menjalankan dan mengoperasionalkan kerangka Konstitusi Negara dan Kelima Undang-Undang yang memihak perlindungan dan pemajuan keadilan dan hak-hak dasar rakyat secara utuh dan konsisten.
Pemerintahan dan Pemerintahan Daerah harus secara progresif menjalankan agenda pemulihan dengan memproduksi kebijakan dan program pembangunan yang sejalan dengan upaya pemenuhan hak-hak dasar warga. Menjalankan kebijakan pemulihan hak dasar rakyat berarti bekerja untuk rakyat banyak, wujud kesetiaan dan kemanusiaan menuju keselamatan dan kemakmuran.
Kekuasaan bukan alat untuk bersengkongkol dengan pengusaha atau pemodal yang rakus dan serakah demi kepentingan pribadi atau sekelompok dan segolongan manusia. Kekuasaan adalah ruang untuk menjalankan hukum tertinggi yaitu keselamatan dan kemakmuran seperti yang diungkapkan Filsuf Cicero. Kesetiaan pada rakyat banyak dan tertindas adalah salah satu tangga keberhasilan sebuah pemerintahan dan pemimpin yang adil adalah pemimpin yang menghargai kemanusiaan.