Selasa, 06 Agustus 2013

MP3EI dan Ekologi Jawa Barat Ke Depan



MP3EI dan Ekologi Jawa Barat Ke Depan
Oleh Dadan Ramdan

Merujuk laporan status lingkungan hidup Indonesia (SLHI)  tahun 2012, Provinsi Jawa Barat berada pada peringkat 27 dari 30 Propinsi yang diteliti. Indeks lingkungan hidup (IKLH) Jawa Barat hanya bernilai 51,34 dimana indeks pencemaran udara (IPU) bernilai 97,51, indeks tutupan hutan (ITH) hanya bernilai 38,72 dan indeks pencemaran air (IPA) hanya bernilai 17,80. Dari data ini, secara kuantitatif, SLHI Jawa Barat tidak mengalami perbaikan bahkan cenderung menurun, berada pada rangking empat terbawah yang sebelumnya pada peringkat lima terbawah.

Tentunya perhitungan matematik di atas akan berbeda dan tidak sebaik fakta kerusakan ekologis yang terjadi. Bahkan, secara sosial dan ekonomi, dampak kebijakan pembangunan belum menjamin kemakmuran rakyat, belum bisa menurunkan angka kemiskinan di Jawa Barat yang mencapai enam belas persen. Bahkan, implementasi kebijakan menyisakan konflik sosial dan ruang hidup. Nilai kerusakan ekologis pun tidak sebanding dan sepadan dengan  kontribusi pendapatan yang diterima daerah.

Seiring dengan beragam kebijakan pembangunan yang dirumuskan oleh pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota, dipastikan krisis ruang hidup ekologis di bumi Jawa Barat ke depan akan semakin parah, terus mengalami degradasi yang ditandai dengan menurunnya keseimbangan ekosistem, daya dukung dan tampung lingkungan hidup. Belum lagi, konflik sosial yang akan muncul yang harus dihadapi rakyat. 

Selain kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di level Propinsi dan 27 Kabupaten/kota di Jawa Barat, keluarnya Perpres No 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2015 merupakan salahsatu dari sekian kebijakan pemerintah pusat melalui konsepsi pembangunan wilayah-wilayah koridor ekonomi namun nihil pembangunan koridor ekologi di dalamnya.

Kelemahan Kebijakan
Di Jawa Barat, Gubernur telah mengeluarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 500.05/Kep.1265-Admrek/2011 tanggal 3 Oktober 2011 tentang Komite Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) Jawa Barat. Dalam struktur KP3EI Jawa Barat ternyata didominasi oleh unsur pemerintahan dan perusahaan, hanya satu perguruan tinggi dan tidak ada unsur organisasi rakyat atau masyarakat sipil. Celakanya, rakyat Jawa Barat kebanyakan belum mengetahui apa isi dan bagaimana dokumen kebijakan MP3EI ini diimpelementasikan di Jawa Barat.

Dokumen MP3EI menempatkan Jawa Barat sebagai bagian dari Koridor Ekonomi Jawa yang berperan sebagai pendukung industri dan jasa nasional. Kegiatan utama ekonomi akan diarahkan pada pembangunan sektor industri makanan minuman, tekstil, peralatan transportasi, perkapalan, alutsista, telematika, besi baja, tembaga, industri semen dan pariwisata. Lokus investasi di Jawa Barat akan dilakukan di wilayah Bogor, Depok, Bekasi, Subang dan Karawang, Cekungan Bandung dan wilayah selatan sebagai salahsatu penyuplai bahan baku.

Indikasi total investasi koridor ekonomi Jawa diperkirakan mencapai Rp 1500 trilyun dengan investasi sektor infrastruktur sebagai pendukung proyek investasi sebesar Rp 256 trilyun. Sementara total investasi sektor riil di luar infrastruktur mencapai Rp 1.290 trilyun dengan komposisi investor sebagai berikut swasta Rp 419 trilyun, BUMN Rp 295 trilyun, pemerintah Rp 95 trilyun dan campuran sebesar Rp 481 trilyun. Di Jawa Barat sendiri, total investasi mencapai sebesar Rp 381, 77 trilyun.

Jika kita periksa secara kritis, implementasi mega proyek MP3EI di Jawa Barat akan berdampak pada nasib rakyat dan ruang hidup Jawa Barat baik secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Sehingga, kita patut mengkaji, menakar dan menimbang untung dan rugi dari kebijakan ini.

Pertama, secara ekologis, mega proyek ini akan membawa dampak pada meluasnya krisis ruang hidup ekologis. Dipastikan daya dukung dan daya tampung lingkungan pun akan semakin menurun. Kenyataannya, kebijakan MP3EI ini tidak diimbangi oleh konsepsi kebijakan perlindungan koridor ekologis beserta perhitungan biaya kerusakan ekologis dan emisi yang dihasilkan.

Indikator kerusakan ekologis dapat ditunjukkan dengan meningkatnya kebutuhan energi, air dan alih fungsi lahan produktif, produksi limbah dan sampah barang-barang kemasan dan ekspolitasi mineral dan batubara seperti pasir besi, mangan, emas, baja dll. Ke depan, emisi karbon, pencemaran udara, air, tanah akan semakin meningkat seiring dengan semakin menyusutnya lahan hutan dan lahan pertanian produktif. Indek kualitas lingkungan hidup Jawa Barat pun akan semakin menurun. Muaranya pada malapetaka bencana ekologis yang semakin meluas.

Di sisi lain, belum bisa ada kepastian kewajiban perusahaan/investor untuk mematuhi segala macam aturan ruang dan lingkungan hidup beserta prosedur perijinan dapat dijalankan dengan transparan dan akuntabel. Kita sulit memastikan perusahaan /investor menjalankan mandat dan amanah UU No 32 Tahun 2009 tentang PPLH dan menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan akibat kerusakan sosial dan lingkungan hidup yang dihasilkan.

Jelas, kebijakan MP3EI yang dibarengi dengan kebijakan RTRW di tiap kabupaten/kota tidak memihak pada kepentingan lingkungan hidup dan budaya agraris akan semakin menurunkan daya dukung dan tampung lingkungan hidup dan pemenuhan target 45% kawasan lindung Jawa Barat menjadi tidak realistis dan bahkan hanya mimpi belaka.

Kedua, secara ekonomi, investasi yang dijalankan akan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi investor swasta termasuk investor asing. Investasi swasta, asing dan campuran mencapai 90% dari keseluruhan total investasi. Bagaimana begitu dominannya investasi swasta asing dan campuran dalam mengendalikan ekonomi Jawa Barat, begitu besar keuntungan bisnis swasta ke depan dan berapa besar yang kemudian bisa memberikan dampak bagi penerimaan dan pendapatan negara.

Selain itu, investasi yang dilakukan lebih mendukung pada industri hulu hilir dalam skala besar dan membutuhkan keterampilan dan teknologi tinggi. Sehingga, yang diuntungkan adalah pengusaha/pemodal besar dan tenaga-tenaga kerja dari luar negeri. Lalu, bagaimana dengan akomodasi dan nasib tenaga kerja lokal yang memiliki kapasitas rendah dalam penguasaan teknologi dan bagaimana nasib industri rakyat dalam skala kecil. Tidak ditemukan kebijakan yang memihak dan menguntungkan industri rakyat, rumah tangga skala mikro dan menengah yang seharusnya dibangun dan diperkuat negara atau pemerintahan.

Bahkan sebaliknya, diprediksi kebijakan ini akan mengancam pada keberlanjutan kehidupan kaum tani dan buruh tani karena lahan sawah, kebun, ladang akan terancam alih fungsi seiring meningkatknya lahan-lahan untuk pendirian pabrik, infrastruktur jalan dan sarana-sarana industri lainnya.

Jadi, secara ekonomi belum tentu membawa dampak kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Jawa Barat kebanyakan, memarjinalisasi ekonomi kerakyatan dan belum tentu memberikan kontribusi pada peningkatan pendapatan dan penerimaan daerah secara signifikan. Bahkan, potensi korupsi implementasi proyek ini terbuka lebar untuk terjadi.

Ketiga, secara sosial, implementasi kebijakan ini akan membutuhkan lahan dan tanah yang cukup luas, penyediaan air yang banyak yang saat ini menjadi penghidupan rakyat terutama kaum tani, buruh tani, nelayan. Dipastikan pembebasan-pembesan lahan untuk infrastruktur dan fasiltas industri akan berbuah pada konflik dan sengketa di masyarakat. Artinya konflik sosial dan sumber daya alam pun akan semakin merebak. Ancaman kriminalisasi pun terbuka lebar untuk terjadi. Biaya sosial pun semakin tinggi ditanggung rakyat dan pemerintah.

Proyek MP3EI seperti akan berbuah manis, menjanjikan dan menjadi tumpuan peningkatan pendapatan negara dan daerah serta kesejahtaraan rakyat. Namun, dari catatan kritis di atas, mega proyek akan berdampak buruk dan rugi secara ekonomi, sosial dan ekologi bagi rakyat dan ruang hidup Jawa Barat dan wilayah lain di Indonesia. Penulis memandang, MP3EI sebagai master plan percepatan, perluasan dan perusakan ekologi Indonesia. Sayangnya, pemerintahan pusat dan daerah sudah melegalisasi dan meligitimasi mega proyek ini, meskipun penolakan muncul dari Walhi dan organisasi-organisasi tani dan nelayan serta organisasi sosial lainnya, pemerintah tak bergeming dan proyek ini tak terbendung terus melaju bahkan sudah berjalan lebih dari satu tahun.

Visi Ke depan
Menurut pandangan penulis, menempatkan Jawa Barat sebagai sebagai pendukung industri dan jasa dalam skala besar tidak tepat dan keliru. Potensi strategis Jawa Barat ada pada kekuatan ekonomi agraris dengan potensi utama/pokok pada pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan darat-laut yang ditopang dengan dukungan alamiah hutan sebagai pemasok air, penyerap emisi karbon dan penyedia udara sehat.  

Menurut pandangan penulis, visi pembangunan Jawa Barat ke depan bukan pada industri dan jasa namun visi membangun tatanan masyarakat agraris-ekologis (agroekologis). Artinya pembangunan agraria yang memperhatikan kaidah ekologi dan konservasi dengan industri rakyat sebagai basis ekonomi utama. Untuk mencapai visi ini, maka kebijakan untuk mempercepat peningkatan kualitas kapasitas sumber daya manusia, perlindungan kaum agraris dan reformasi agraria berarusutama ekologis mutlak harus diprioritaskan.

Penulis. Dadan Ramdan. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat Periode 2011-2015. No Kontak 082116759688.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar