Ekonomi Hijau dan
Modernisasi Ekologi
Pembangunan
ekonomi dewasa ini telah memposisikan lingkungan sebagai sumber utama untuk
meningkatkan basis produksi. Konsumsi
energi yang luar biasa borosnya di Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa guna menjaga industri tetap
“ngebul” mengakibatkan dunia saat ini mengalami
krisis energi, terutama krisis energi minyak bumi yang luar biasa. Naiknya harga minyak dunia dalam beberapa tahun
terakhir telah memincu krisis lain diberbagai sektor. Fakta nyata yang dihadapi
saat ini adalah mengakibatkan meningkatnya suhu bumi dan
anomali cuaca. Kondisi ini telah memaksa sebagian rakyat di bumi ini khususnya
di negara kaya sumber daya namun miskin secara ekonomi sosial untuk menanggung
risiko ini.
Di tengah kebutuhan energi fosil yang
rakus saat ini, dunia dihadapkan pada satu kenyataan bahwa cadangan minyak
dunia yang berbahan fosil dan tidak terbarukan akan terus menyusut untuk
duapuluhtahun ke depan. Diperkirakan cadangan minyak
bumi yang terkandung di wilayah Timur Tengah dan Kawasan Teluk, yang merupakan
wilayah penghasil minyak bumi terbesar dunia saat ini, akan mulai habis dalam
waktu 20 tahun mendatang. Itu artinya, bisa dipastikan bahwa negara Industri
pimpinan Amerika dan sekutunya akan mencari
pengganti energi berbahan fosil dengan bahan bakar alternatif, guna
mengantisipasi krisis energi yang dahsyat ini.
Guna mengatasi krisis energi atau krisis bahan bakar minyak
bumi tersebut, dewasa ini telah dikembangkan energi berbahan bakar nabati.
Penggunaan energi berbahan bakar nabati ini telah menjadi kebijakan energi dari
sejumlah negeri Industri utama seperti AS, kawasan Uni Eropa, Jepang, dan Brazil.
Kebijakan untuk menggunakan energi berbahan bakar nabati dewasa ini diikuti
secara serentak oleh berbagai negeri jajahan, setengah jajahan dan negeri
bergantung lainnya, karena kebijakan penggunaan energi nabati tersebut menjadi
prasyarat-prasyarat baru bagi bantuan pembangunan (utang, hibah, dan proyek)
dari lembaga-lembaga kreditor multilateral seperti Bank Dunia dan ADB (Asian
Development Bank/Bank Pembangunan Asia). Catatan menunjukkan bahwa Amerika
Serikat adalah konsumen energi nabati terbesar, terutama bioetanol, dengan
pasokan bioetanol dari Brazil yang diolah dari komoditas pangan tebu. Sementara
Uni Eropa adalah konsumen terbesar biodiesel (bio solar) terbesar dengan
pasokan bahan baku komoditas pertanian kelapa sawit dari Indonesia dan
Malaysia.
Penggunaan bahan bakar nabati, telah dikampanyekan oleh negeri-negeri industri yang menandatangani Protokol Kyoto, sebagai sumbangan
negeri-negeri industri terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca (terutama
emisi karbon). Karena menurut Protokol Kyoto, hanya negeri-negeri annex-1 yang mayoritas terletak di belahan bumi bagian Utara,
yang diberikan target spesifik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Jadi,
klaim dari negeri-negeri belahan bumi Utara ini adalah mereka telah mengurangi
emisi gas rumah kaca, yang diwajibkan oleh Protokol Kyoto dengan target
spesifik pada masing-masing negeri ini, melalui penggantian penggunaan bahan
bakar minyak bumi dengan penggunaan bahan bakar nabati (agrofuel).
Bahan baku untuk produksi energi nabati, umumnya diproduksi di tanah-tanah
di belahan bumi bagian Selatan, kecuali untuk kedelai (produsen terbesarnya
Amerika Serikat dan Brazil) dan gandum (tanaman sub-tropis dan belahan bumi
Utara). Di dalam Protokol Kyoto, negeri-negeri di belahan bumi bagian Selatan,
yang umumnya merupakan negeri-negeri jajahan, setengah jajahan, dan bergantung,
tidak dibebani kewajiban target spesifik untuk menurunkan emisi karbonnya.
Oleh karenanya, meskipun terjadi emisi karbon yang luar biasa sebagai
akibat perluasan perkebunan biodiesel (terutama kelapa sawit) dan perkebunan
bioetanol (terutama tebu), melalui pembukaan hutan primer, hutan produksi dan
hutan konversi yang kemudian mengakibatkan penggundulan dan perusakan hutan
(deforestasi) dan pembakaran hutan, di wilayah bumi bagian Selatan, hal ini
menurut Protokol Kyoto, tidak merupakan persoalan pokok, karena negeri-negeri
ini sesungguhnya tidak dibebani kewajiban menurunkan emisi karbonnya. Dengan demikian, negeri-negeri industri tetap dapat menjaga pertumbuhan industrinya melalui
tingkat konsumsi energi yang sama, dengan beralih menggunakan bahan bakar
nabati yang bahan bakunya diproduksi di tanah-tanah perkebunan dan pertanian di
Negara
berkembang dan miskin.
Green Economy, Modernisasi Ekologis
Solusi
global sejak tigapuluh tahun terakhir seakan tidak menjawab persoalan krisis
lingkungan global hingga saat ini. Upaya moderinisasi ekologi tersebut dilakukan
di wilayah struktural maupun non struktural. Clean Development Mecanism atau
biasa dikenal dengan CDM, dengan berbagai variannya, seperti Payment Enviroment Services (PES). Perubahan
iklim global yang terus meningkat memaksa seluruh bangsa untuk menurunkan emisi
rumah kaca melalui mekanisme mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Skema
pembangunan ekonomi Indonesia juga berusaha merubah paradigm pembangunan yang
ekstraktif, ekslpoitatif dan berjangka pendek. Kebijakan nasional pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan dengan semboyan “pro
growth, pro job, pro poor”. Bisa
dipahami sebagai upaya perbaikan kondisi lingkungan , “Green Economy” menjadi salah satu bagiannya.
Kenyataan
ini sangat disadari dimana model pembangunan ekonomi yang dikembangkan telah menggerakkan
pembangunan ekonomi yang cenderung ekstraktif dan berjangka pendek. Tanpa
menafikan adanya perbaikan kualitas sumber daya dan lingkungan, namun secara
umum dapat dikatakan bahwa upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan
pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.
Sementara itu, sinyal indikator pertumbuhan ekonomi seperti Produk Domestik
Bruto/Produk Domestik Regional Bruto (PDB/PDRB), dan tingkat inflasi tidak
diiringi dengan informasi akurat tentang nilai susutnya sumber daya alam
(deplesi) dan rusaknya serta tercemarnya lingkungan (degradasi).
Bercermin
pada kondisi Indonesia saat ini, maka pendekatan Ekonomi Hijau (Green economy approach) dapat diartikan
sebagai suatu model pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan
pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang
berlebihan. Sejatinya, ekonomi hijau harus menjadi lompatan besar meninggalkan
praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang telah
mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani termasuk
menggerakkan perekonomian yang rendah karbon (low carbon economy).
Konsep
ekonomi hijau meliputi cakupan yang luas dan merupakan paradigma baru dalam
pembangunan ekonomi guna menggantikan kebijakan-kebijakan lingkungan yang pada
masa lalu kerap difokuskan pada solusi jangka pendek. Pendekatan ekonomi hijau
merupakan win-win solution dalam mengakhiri perdebatan para penentu kebijakan
yang tidak ada habis-habisnya seputar "pelestarian lingkungan" dan
"pertumbuhan ekonomi". Atau dengan kata lain, Ekonomi Hijau adalah
model pembangunan ekonomi berbasiskan pengetahuan terhadap ecological economic dan green
economic yang bertujuan untuk menjawab saling ketergantungan antara ekonomi
dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi termasuk perubahan
iklim dan pamanasan global.
Di
level praksis, tentu pemikiran ekonomi hijau dan modernisasi ekologi terus semakin
populer. Kini banyak perusahaan yang berusaha menggunakan teknologi ramah
lingkungan walaupun sangat lamban dalam implementasinya. Teknologi asap cair
menjadi salah satu solusi minimisasi limbah. Instrumen amdal jadi pengendali
dampak lingkungan. Kampanye jalur bebas mobil pada hari-hari tertentu, serta
mengatur suhu sedang untuk pendingin ruangan adalah salahsatu upaya kultural
dari modernisasi ekologi.
Keadilan
ekologis, Jalan Baru Pembangunan
Seperti
yang sudah disampaikan di atas, bahwa persoalan lingkungan dan ekonomi saling
bertentangan. Hal ini dikarenakan karakteristik pembangunan ekonomi yang sangat
rakus, monopolistik, dan berorientasi pada ekstraksi sumberdaya alam. Di dalamnya
juga mengandung dominasi politik ekonomi Negara Utara terhadap Negara Selatan
seperti Indonesia. Politik ekonomi yang miskin distribusi. Regulasi yang tidak
menunjukan ketidakadilan dalam pembangunan global menjadi persoalan dasar dalam
upaya perbaikan pembangunan ekonomi yang lebih hijau, bersih dan menguntungkan.
Berbagai
gagasan yang menjadi mainstreaming global dan perubahan perilaku ekonomi
pembangunan masih didominasi oleh Negara Utara. Sehingga terlihat jelas
mengabaikan kepentingan Negara Berkembang (selatan) dan lebih menguntungkan
negara-negara maju.
Pendekatan
green economy dan modernisasi ekologi ini dapat dikatakan melupakan konflik
kepentingan antar aktor, yakni antara industri yang satu dan industri lain,
industri dengan masyarakat, negara dengan masyarakat, serta antara negara maju
dan berkembang. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara keduanya akan
menimbulkan dominasi satu atas lainnya dan berujung pada marginalisasi pihak
yang lemah.
Modernisasi
ekologi jarang memerhatikan pertanyaan siapa yang diuntungkan dan siapa yang
dirugikan. Jarang dipikirkan bagaimana dampak ekolabeling terhadap perikanan
rakyat. Jarang dipikirkan pula dampak kawasan konservasi hutan dan laut
terhadap masyarakat sekitarnya. Begitu pula pada level global, dampak
perdagangan karbon terhadap dunia ketiga dan lingkungan global. Konflik-konflik
kepentingan itu membutuhkan solusi yang adil. Tanpa itu maka semua gagasan yang
lahir untuk memperbaiki ekologis global tidak akan pernah selesai. Oleh karena
itu, konsep keadilan ekologis perlu segera dikembangkan dan menjadi
mainstreaming dalam setiap kebijakan ekonomi pembangunan global.
Menurut
Flitner (2009), ada dua macam keadilan ekologis. Pertama, keadilan distributif yang menekankan pentingnya akses masyarakat
pada benefit atas pemanfaatan sumber daya alam. Banyaknya konflik nelayan
dengan pengelola kawasan konservasi merupakan akibat dari terusiknya keadilan
distributif ini. Kedua, keadilan
pengakuan yang menekankan pada pentingnya pengakuan terhadap eksistensi
keragaman cara masyarakat mengelola alam. Tipe keadilan ini diturunkan dari
asumsi bahwa alam adalah hasil konstruksi sosial. Sejarah, pengalaman, dan
budaya akan membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam, yang mungkin
berbeda dengan pandangan para ahli atau pakar. Masyarakat memiliki cara sendiri
bagaimana beradaptasi dan mengelola sumber daya alam yang bisa jadi lebih
efektif. Namun, sering kali mereka diabaikan sehingga menjadi tamu di
wilayahnya sendiri.
Ketidakadilan
ekologis terjadi karena ada monopoli cara pandang terhadap alam, yaitu cara
pandang positivistik berbasis sains dianggap paling obyektif, benar dan
universal, meski kadang kurang efektif. Ini berimplikasi pada menguatnya
pendekatan teknokratik dalam mengelola alam. Padahal, di luar sains, ada sistem
pengetahuan lain di masyarakat yang juga akurat melihat fenomena alam. Low dan
Gleeson (1998) menyatakan ”sustainable development
without environmental justice is an empty formula”.Kontradiksi ini bisa
diakhiri dengan mendorong kolaborasi sains dan pengetahuan lokal.Modernisasi
ekologi dan keadilan ekologis bukan saling meniadakan. Modernisasi ekologi
penting, tetapi lebih penting lagi bila diiringi keadilan ekologis. Keadilan
ekologis harus menjadi arus utama pembangunan dan jalan baru menuju keselamatan dan kemakmuran rakyat dan
keberlanjutan ruang hidup ekologis.
Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat Periode 2011-2015. No Kontak 082116759688
Tidak ada komentar:
Posting Komentar