Minggu, 28 Agustus 2011

Menyelamatkan Ekologi Tatar Pasundan

Pada tahun 1953 sejumlah  ilmuwan mengukur rasio uranium dalam sampel batuan kuno atau vulkanik dengan menggunakan metode Tes Radiometrik. Metode ini digunakan untuk menghitung umur batuan sesuai dengan prinsip setengah-umur, yaitu dengan melihat adanya sejumlah elemen radioaktif di batuan vulkanik di bumi.

Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa  usia bumi diperkirakan telah mencapai usia 4,5-4,6 miliar tahun. Perkiraan inilah yang hingga kini tetap bertahan. Penemuan ini menunjukan bahwa usia bumi sangat tua, termasuk di dalamnya adalah bumi  Tatar Pasundan.

Mengacu pada data yang ada, hamparan Bumi Tatar Pasundan  mempunyai luas sekitar 4,4 juta Ha, berisi sekitar empat puluh tiga juta manusia yang tersebar di tujuh belas kabupaten dan sembilan kota serta enam ratus dua puluh lima serta tujuh ribu desa. Jika dibandingkan dengan provinsi lain, Tatar Pasundan adalah propinsi dengan hunian manusia terbanyak di Bumi Nusantara ini.

Masalah Mendesak

Mengamati kondisi ekologi di belahan selatan dan utara Tatar Pasundan, setidaknya ada empat masalah yang mendesak yang perlu diselesaikan. Pertama, tekanan dan ledakan penduduk Jawa Barat yang terus meningkat. Ledakan penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan rakyat atas sumber penghidupan (pangan, papan, sandang), akses pekerjaan dan kebutuhan dasar.

Kedua, krisis sumber-sumber penghidupan, alam, pangan, energi  dan konversi lahan secara besar-besaran. Konversi lahan sawah menjadi lahan industri sekitar 55,7 persen dengan laju pertahun 0,21 persen. Pada tahun 2008, kemiskinan terbesar berada di pedesaan mencapai sekitar 11,42 juta jiwa, banyaknya angka kemiskinan ini disebabkan oleh rendahnya akses petani terhadap lahan yang diimbangi dengan meningkatnya jumlah buruh tani dan pengangguran di perdesaan.

Ketiga, meluasnya lahan kritis serta perusakan hutan. Dari catatan WALHI,  lahan kritis di Jawa Barat berada di kisaran 400.000-600.000 Ha. Lahan hutan kritis tersebar di 15 kabupaten di Jawa Barat. Kerusakan lahan hutan terbesar berada di kabupaten Garut dan kerusakan hutan terkecil di kota Bogor. Lahan kritis ini disebabkan kegiatan pembalakan komersial secara legal maupun ilegal oleh pemodal besar, alih fungsi lahan hutan menjadi pertambangan, perkebunan, serta berbagai proyek pembangunan infrastruktur sektor pariwisata.

Dari catatan Walhi Jawa Barat sejak tahun 2006 hingga sekarang, sekitar ratusan Kerjasama Operasi (KSO) dan Kerjasama Pinjam Pakai Kawasan Hutan di kawasan hutan yang dikelola PT Perhutani di Jawa Barat yang telah menyebabkan kerusakan ekologis akibat alih fungsi kawasan hutan menjadi lahan pertambangan, pembangunan infrastruktur, pariwisata tidak ramah lingkungan dan secara administratif tidak semua kerjasama dilengkapi dokumen Amdal, upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL).

Keempat, menurunnya daya dukung lingkungan hidup. Menurunya daya dukung lingkungan disebabkan laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, kepadatan penduduk, meningkatnya jumlah pengangguran, dan semakin tingginya tingkat kemiskinan dalam satu dekade terakhir ini telah menyebabkan perubahan-perubahan ekologis di Bumi Tatar Pasundan. Perubahan tersebut seperti, peningkatan kebutuhan lahan, peningkatan kebutuhan pangan, konsumsi energi yang cenderung meningkat, dan konsumsi air yang semakin tinggi.

Hanya sekedar catatan saja,  data  hasil penelitian menunjukan bahwa aliran air mantap di pulau Jawa sekitar 47.268 juta m3/tahun sementara keperluan air sekitar 59.838 juta m3/tahun, hal ini  berarti bahwa diperkirakan terjadi defisit ketersediaan air sekitar 12.570 juta m3/thn

Ancaman keempat adalah berupa bencana alam dan ekologis. Mengacu pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jawa Barat memiliki indeks kerawanan bencana alam dan ekologis yang sangat tinggi atau berada dalam zona merah.

Dalam konteks Jawa Barat, ancaman bencana ekologis tersebut semakin parah tatkala melihat pada anggaran provinsi untuk permasalahan bencana alam. Dari hasil penyelusuran yang dilakukan WALHI Jawa Barat, jumlah alokasi anggaran untuk penanganan bencana alam tidak lebih dari 4 milyar atau sekitar 1,3 persen dari alokasi biaya langsung dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi Jawa Barat. Sementara anggaran untuk penyelesaian masalah lingkungan hidup hanya 0,25% dari total APBD Jawa Barat.

Agenda Mendesak

Bacaan di atas merupakan sebuah refleksi dalam upaya membangun kesadaran serta konsensus bersama bahwa kerja-kerja kolektif penyelamatan dan perawatan  Tatar Pasundan.   Oleh karena itu, berdasar atas kajian mendalam, WALHI Jawa Barat memandang bahwa kerja-kerja kolektif penyelamatan bumi Tatar Pasundan merupakan agenda mendesak yang harus segera  dijalankan oleh seluruh pihak sebagai subjek tanpa kecuali.

Secara lebih spesifik, WALHI Jawa Barat menawarkan beberapa aksi kolektif yang bisa dilakukan secara bersama seluruh elemen yang peduli dengan nasib ekologi tatar Pasundan : pertama, pemerintah Jawa Barat dan Kabupaten/Kota harus segera mengkaji ulang  kebijakan dan strategi pembangunan yang dijalankan selama ini.

Dalam konteks kajian tersebut, keberlanjutan kehidupan, keamanan dan keselamatan masyarakat harus menjadi prinsip utama  dibanding keberlanjutan pembangunan yang sudah direncanakan sebelumnya.

Kedua, pemerintah harus tegas dalam upaya penegakan hukum tata ruang dan lingkungan dengan tetap berpegang pada pilar keadilan sosial dan memastikan pembangunan yang dijalankan benar-benar selaras dan adaptif dengan situasi ekologis tanpa harus menghilangkan akses masyarakat sumber-sumber kehidupan seperti tanah, hutan dan air.

Penegakan hukum ini dijalankan karena kerusakan lingkungan disebabkan oleh beragam pelanggaran yang dilakukan seperti kasus pencemaran, pelanggaran-pelanggaran perijinan pembangunan, pembalakan lahan hutan oleh pengusaha besar.

Ketiga, menggali dan mengembangkan  kearifan lokal Tatar Pasundan yang mendukung pada upaya penyelamatan dan perawatan bumi dan lingkungan hidup. Kearifan lokal perlu dikembangkan karena nilai-nilai kearifan tradisi, budaya lokal (Sunda) sangat relevan dengan situasi kerusakan ekologis yang pada saat ini menjamur. Nilai-nilai kearifan akan menjadi spirit sosial yang saat ini mulai memudar. Nilai kearifan lokal akan mendukung agenda penyelamatan lingkungan pada ranah perubahan paradigma, alam pikir dan akan menjadi tindakan nyata dalam  lingkungan hidup di Tatar Pasundan ini.

Keempat, menumbuhkan kesadaran bersama bahwa penyelamatan lingkungan adalah agenda kemanusiaan bersama untuk penyelamatan manusia Tatar Pasundan ke depan. Membangun kesadaran bersama ini bisa dilakukan dalam bentuk edukasi dan kampanye lingkungan hidup sehat dan ramah lingkungan di semua jenjang sekolah, ruang pengajian dan majelis taklim dll. Selain edukasi, kerja kolektif juga bisa dilakukan dengan membangun partisipasi masyarakat dalam memantau, mengawasi beragam aktivitas pembangunan yang dapat merusak tatanan ekologis di tempat dan wilayah sekitarnya.

Hari bumi atau Earth Day yang jatuh pada tanggal 22 April adalah salah satu momentum penting bagi kesadaran manusia di dunia akan pentingnya kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup di bumi.

Semoga peringatan hari bumi tahun ini tidak sekedar menjadi ritual yang terus dijalankan secara formalitas saja, akan tetapi kemudian bisa diikuti dengan tindakan nyata dari semua pihak. Semoga saja


Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat Periode 2011-2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar